Kamis, 28 Juni 2007 lalu saya baru saja mengikuti seminar Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU-ITE) yang diselenggarakan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia bekerjasama dengan Bank Indonesia dan Forum Komunikasi Informatika dan Transaksi Elektronik (FK-ITE) serta Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia – Badan Reserse Kriminal Polri. Sebuah seminar nasional yang dihadiri oleh civitas akademika, diantaranya mahasiswa Ilmu Komputer, dan mahasiswa Hukum, kemudian praktisi Hukum, yang meliputi Kejaksaan, Kehakiman dan Pengacara, tidak lupa juga kawan-kawan pers, dan pemilik warnet serta yang lainnya.

Inti dari seminar tersebut adalah sesuai dengan namanya “Sosialisasi”, maka seminar ini memang hanya berisi sosialisasi saja, bahkan saya sempat tidak mengerti kemana kami sebagai peserta akan dibawa. Adalah sebuah pemberitahuan akan Rancangan Undang-Undang Informasi dan Tranksaksi Elektronik yang pada ujung-ujungnya malah terbawa ke cyber crime yang menurut salah seorang nara sumber, disebut sebagai sesuatu yang kreatif. :)

Saya tertarik dengan perkataan Bapak Edi Hartono nara sumber dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia - Badan Reserse Kriminal Polri yang mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada sinkronisasi data antar wilayah di seluruh Indonesia. Bahkan katanya, jangankan di seluruh wilayah Indonesia, sinkronisasi data dalam satu provinsi saja tidak ada. Beliau mengaku memiliki lima Kartu Tanda Penduduk (KTP). “Saya saja punya 5 KTP”, kata beliau. Saya terkekeh mendengar perkataan beliau, dan dalam hati saya berkata, “Kalau seorang anggota Polri selaku penegak hukum saja punya 5 KTP, yang seharusnya punya 1 saja, gimana dengan penduduk (rakyat jelata) yang notabene bukan penegak hukum – bahkan sering melanggar hukum”.

Bulan Mei lalu, masa berlaku Kartu Tanda Penduduk saya memasuki habis masa tenggang. Dan artinya, saya harus memperpanjang KTP saya. Karena saya sedang merantau untuk menempuh pendidikan di sebuah kota yang jauh dari kampung halaman saya, saya hendak memperpanjang di kota kelahiran saya. Namun, saya diberitahu oleh salah seorang teman saya yang mengatakan bahwa KTP dari kota kelahiran saya tidak berlaku di kota yang saya tempati sekarang (tempat kuliah). Saya sempat terkejut dan kaget, dan langsung timbul sebuah pertanyaan besar.

“How it’s happen?”

Saya berpikir, bahwa selama ini KTP dari kota kelahiran saya dinyatakan sah di manapun saya menginjakkan kaki saya, selama saya berada di wilayah kenegaraan Indonesia tercinta. Namun, ternyata saya kurang informasi, bahwa KTP saya hanya berlaku di kota kelahiran saya saja. Dari sanalah saya sempat merasa jengkel dan sakit hati dengan data yang ada di negara ini. Ternyata negara ini tidak memiliki data yang benar-benar valid dan sinkron antar wilayah. Sebuah fakta yang mengerikan.

Saya kemudian berpikir, kalau kenyataannya memang demikian maka saya tidak menyalahkan orang-orang yang berpikir kreatif dengan memanfaatkan kelemahan yang ada di negara ini. Dengan tidak adanya sinkronisasi data antar wilayah, maka seseorang dapat dengan mudah memiliki alamat fiktif, nama fiktif, yang pada akhirnya memicu untuk berbuat tindak kejahatan, baik itu terorisme maupun ‘mencuri dengan canggih’ atau apapun namanya. Dengan begitu seharusnya penegak hukum belajar untuk tidak hanya memberantas, namun juga seharusnya ada suatu langkah cure untuk menghindari tindak kejahatan yang sepertinya semakin tak terkendali di negara ini. Bukan hanya kemudian memerintahkan Densus 88 untuk menangkap si pelaku yang ketahuan belangnya dan sudah lama tidak kelihatan batang lehernya. Namun, mulai berpikir kepada proses pencegahan untuk menghindari apa yang telah terjadi agar tak terulang kembali.

Saya merasa prihatin dengan negara ini yang semakin lama bukan semakin tertata rapi, namun justru mengarah kepada, mengutip perkataan Edmon Makarim, seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hyperegulasi.

“Hukum itu ketinggalan jaman”.

Beliau mengatakan, kalau saja ada orang yang jeli mau merinci satu persatu tata hukum yang ada saat ini, maka akan ditemukan sejuta ketidakocokan antara yang satu dengan lainnya. Hmm… saya pikir tidak perlu dibayangkan apa yang akan terjadi nantinya. :)

Apapun yang sudah terjadi adalah sejarah yang seharusnya menjadi bahan pelajaran, seperti kata Bapak Presiden Pertama negeri ini, “Jas Merah” Jangan Melupakan Sejarah. Marilah menuju Indonesia dengan bukan hanya pemberantasan, namun juga ingat tentang cure yang seharusnya sudah lama dipikirkan.