Seperti biasa, saya selalu ingin tahu tentang apapun. Tentang semua ilmu yang seharusnya bisa saya simpan semuanya dalam otak saya yang memang sangat besar sekali. Dengan rasa ingin tahu, maka akhirnya saya menjatuhkan pilihan diantaranya pada keorganisasian yang ada di lembaga-lembaga yang saya tahu. Dari organisasi-organisasi yang saya ikuti saya berharap tahu banyak dan mampu mengetahui semua yang saya belum ketahui.

Entah karena memang sudah takdir saya atau memang saya terlihat tidak pantas menjadi pemimpin dalam organisasi, dalam setiap organisasi yang saya ikuti saya selalu hanya bisa menjadi anggota dan tidak pernah benar-benar menjadi seorang pemimpin, kecuali pemimpin atas diri saya sendiri. Dan kalaupun bisa mencapai tingkat tertinggi dalam sebuah organisasi, biasanya saya hanya bisa menjabat sebagai sekretaris – seorang pembantu pemimpin yang banyak kegiatan yang harus diselesaikan untuk sang tuannya. Tetapi, di sana saya bersyukur. Karena dari sanalah, ketika saya tidak menjabat sebagai pemimpinnya, maka saya telah banyak belajar apa yang seharusnya dilakukan jika kelak saya menjadi pemimpin.

Dari sana pula saya tahu – tentunya juga dari bacaan – bahwa gaya kepemimpinan orang-orang Indonesia memang sangat berbeda dengan gaya kepemimpinan orang-orang Eropa atau Amerika. Memang sebenarnya bukan karena siapa yang Asia, siapa yang Amerika, atau siapa yang Eropa dan akan mempunyai gaya kepemimpinan seperti apa. Namun, pada kenyataannya tidak jauh dari demikian. Dari gaya kepemimpinan yang saya tahu, ternyata ada dua cara yang digunakan oleh orang-orang untuk mengatur dan menggerakkan sebuah organisasi. Yaitu, gaya mamalia dan gaya reptilia. Kepemimpinan yang menggunakan cara mamalia bisa diibaratkan seperti lumba-lumba yang selalu guyup (akur dan berkelompok), bersahabat dan memperhatikan kiri serta kanannya sebagai bentuk kewaspadaan. Dengan gaya seperti ini maka, ia akan menjadi enak untuk ditonton dan diperhatikan karena terkesan lucu dan menjanjika sesuatu. Namun sebenarnya gaya kepemimpinan seperti ini hanyalah datang untuk menghibur dan bukan untuk melakukan sesuatu. Ia lebih memilih untuk mencari kawan daripada menendang kawan-kawannya yang mempunyai kinerja yang kurang bagus. Selain itu, ia juga terkesan ragu-ragu dalam mengambil keputusan dan tidak suka menyerang serta enggan untuk diasingkan.

Sedangkan gaya reptilia yang dengan tipe agresif untuk menyerang. Selain itu gaya ini juga lebih tegas dalam menendang kawan-kawannya yang tidak berkinerja dengan baik serta fokus dan analitik. Dengan gaya yang demikian maka, ia merasa kelompok bukanlah sesuatu yang penting, melainkan berani berkorbanlah yang menjadi penting. Sayangnya, gaya seperti ini cenderung tidak disukai anggota atau masyarakatnya sebelum ia benar-benar menunjukkan kinerjanya.

Dari pengetahuan dan pengalaman saya selama berorganisasi dan melihat pemimpin-pemimpin yang memimpin baik presiden, gubernur, walikota, bupati, hingga kepala sekolah bahkan seorang ayah, saya tahu bahwa kebanyakan orang Indonesia memiliki kecenderungan untuk memimpin dengan gaya mamalia. Dan secara teoritis gaya seperti ini tidak efektif, apalagi jika sudah menyangkut dengan perubahan dalam organisasi.

Sebenarnya, gaya mamalia bukanlah sebuah pilihan bagi orang-orang yang mau berubah, karena ia tahu bahwa ada gaya yang lebih baik, yaitu gaya reptilia. Namun, sayangnya masyarakat Indonesia tidak cocok dengan gaya tersebut. Mengapa? Masyarakat Indonesia sejak dini diajarkan untuk akur dan berkelompok sehingga semua masalah bisa diselesaikan bersama. Dengan demikian, dengan gaya reptilia yang akan menendang siapa saja, kawan yang tidak memiliki kinerja yang baik, maka pemimpin seperti ini akan ditinggalkan dan pada akhirnya akan dianggap sombong.

Sebuah contoh yang saya ketahui dari harian Kompas pada kolom Analisis Ekonomi yang ditulis oleh Rhenald Kasali ada sebuah gaya kepemimpinan yang menurut mahasiswanya disebut dengan gaya mamal-reptil. Gaya ini mengadopsi dari kedua gaya di atas. Dengan tetap berkelompok dan terlihat lucu serta menjanjikan, ia tidak segan-segan untuk menyerang serta tidak enggan menendang kawan-kawan yang dinilai tidak memiliki kinerja yang baik, karena baginya kelompok bukanlah sesuatu yang terlalu harus diutamakan. Gaya kepemimpinan seperti ini memiliki hati yang lembut, tetapi berkulit keras seperti reptil. Dengan hatinya yang lembut, ia tidak mudah tersinggung, namun juga memiliki kulit yang keras untuk mengatakan tidak. Selain mempunyai dukungan yang banyak, ia juga siap jika harus memimpin dalam kesendirian.

Kalau kita mau introspeksi diri, manakah tipe kepemimpinan yang kita sandang saat ini? Apakah mamalia yang terlihat lucu serta menggemaskan dan menjanjikan sesuatu namun tidak mengerjakan apapun selain untuk menghibur? Ataukah gaya reptil yang keras, tegas, fokus dan siap menendang siapapun untuk kebaikan organisasi yang dipimpinnya? Atau mamal-reptil seperti yang dijelaskan di atas? Jawabannya tentu saja ada pada masing-masing anda.

Tidak penting sebenarnya seperti apakah gaya kepemimpinan yang kita sandang saat ini. Namun, yang lebih penting adalah, jika sudah memahami dan mengerti mana yang baik dan bagian mana yang lebih baik tentu saja ada baiknya jika mau berubah dari yang sekedar baik untuk menjadi lebih baik.