Resensi: (Miniseries) The Pacific
Di tengah-tengah kesibukan, saya selalu berusaha menyempatkan diri untuk melihat film dan atau miniseri. Well, anggaplah ini sebuah distraction kecil untuk kesibukan sehari-hari. Hehe.. Rasanya saya termasuk golongan yang menyatakan bahwa rumput tetangga selalu nampak lebih hijau. Mungkin itu karena saya manusia normal -self defense. Haha.. Maksudnya adalah, saya lebih menikmati film atau miniseri dari luar negeri dibanding buatan lokal, Indonesia. Saya mengakui dan sangat mengagumi alam Indonesia dan sumber daya manusia tetapi soal hiburan, saya muak! No offense.
Ada beberapa miniseri televisi yang saya sungguh addicted terhadapnya. Namun, kali ini saya akan menceritakan tentang sebuah miniseri yang berjudul The Pacific. So, load it more!
The Pacific adalah sebuah miniseri yang diputar di Home Box Office alias HBO setiap minggu –saya lupa waktunya pukul berapa- dengan sepuluh bagian. Sebenarnya sih, selain diputar di saluran itu copyright The Pacific juga dimiliki HBO Inc. Oya, film yang dibuat atas kerjasama HBO, Dreamworks dan Play Tone ini menghabiskan dana sebesar USD 100 juta.
The Pacific berkisah tentang tentara Amerika (marines) dalam peperangan Pasifik tahun 1943 hingga nantinya berakhir pada jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Diceritakan awal dalam peperangan ini tentara Amerika mendarat di sebuah pulau dekat Australia yang sedang dikuasai oleh Jepang (Japs) bernama Guadalcanal dan berlanjut ke pulau-pulau lainnya.
Menurut pandangan saya, miniseri ini cukup subyektif. Sangat malahan. Mengapa? Meskipun sumber untuk pembuatan film dilengkapi dokumen dari berbagai sumber, termasuk catatan sejarah di Museum Korea, Australia dan beberapa dokumen lain, namun miniseri ini lebih dibuat berdasarkan cerita dari dua orang veteran yaitu; Eugene Sledge, dan Robert Leckie. Karena itu, fokus dalam film ini pun kedua orang tersebut. Dalam miniseri ini juga yang terlihat hanya tentara Amerika saja. Kalaupun ada tentara Jepang yang terlihat wajahnya, bisa dihitung dengan jari-jari tangan saja. Kecuali di episode 9 yang mengambil tempat di Okinawa.
Dalam banyak scene, saya sering merasa mual karena menyaksikan bagaimana mereka satu per satu tewas, baik secara mengenaskan maupun dalam kondisi lebih baik. Bagaimana Eugene Sledge hendak membuka makanan kaleng dan di belakang dia melihat tubuh dengan kepala yang setengah atas hilang. Juga bagaimana Robert Leckie menginjak potongan tangan kanan yang di jari manisnya terdapat sebuah cincin. Eww..
Jadi, mungkin kita masyarakat Indonesia yang mulai muak dengan sinetron tak berujung dan tak berbobot merasa akan lebih menikmati miniseri dengan format dan kekuatan seperti The Pacific. Kalau saya diminta memilih sinetron Indonesia, hell saya lebih memilih Glee! Meskipun cukup sederhana, tapi suara yang dihadirkan adalah sempurna. The Power of Share – sm/51014/re.
— PS: You can translate this post with [Translate] link below to your own language.