Seorang teman yang bisa dikatakan seorang ‘socialite’, kalau diamati lebih teliti, banyak menggunakan pujian bila bertemu dengan teman temannya.  Karena pujiannya itu terlalu monoton yaitu selalu mengatakan bahwa lawan bicaranya terlihat ‘lebih langsing’, teman kita ini langsung terlihat ketidak tulusannya. Bahkan bila menemuinya, saya teringat kata kata penyair Irlandia,  Oscar Wilde: “How clever you are, my dear! You never mean a single word you say”. Teman saya, yang  lebih ekstrim lagi, pasti akan berkomentar: “muna….” ( baca: munafik).

Kita begitu banyak menyaksikan transasksi sosial yang terasa tidak diwarnai dengan hati, saling cium pipi bukan sekedar antara ibu ibu tetapi juga  bapak bapak, kepura-puraan beramal, spiritual, bijak, bermoral, yang sering membuat kita gundah, dan mencari-cari, siapa di lingkungan sosial kita ini yang bisa dipegang, janji, kata-kata maupun nasehat-nasehatnya. Pertanyaan juga: apakah  kesan yang kita dapat itu, disadari oleh individunya sendiri? Apakah ia sadar bahwa kata kata ungkapannya serta ekspresinya penuh kepura-puraan?

Almarhum ayah saya selalu mengingatkan: “orang pada dasarnya selalu berniat baik, kalau dia berbuat tidak baik dimata kita, mungkin ia tidak menyadarinya”. C.G.Jung, psikiater Swiss, juga  berpendapat :” the hypocrisy is based on being   not aware of the dark or shadow-side of their nature”. Membentuk  ‘image’, berbasa basi, berusaha agar terlihat ‘baik’ adalah revolusi individu untuk mengembangkan, bahkan memperbaharui dan mempertahankan eksistensinya di lingkungan sosial.

Pertanyaannya bisakah hal ini kita lakukan dengan ‘self-knowledge’ yang lebih tinggi agar supaya kadar ketulusannya juga bisa kita kembangkan? Bukankah dengan kesadaran diri yang lebih tinggi, rasa kemanusiaan yang ‘genuine’ akan lebih dirasakan individu sehingga hal ini bisa mengurangi ‘rasa keterasingan’ dan rasa percaya pada sesama manusia?

Dalam sebuah pertemuan antara direktur pemasaran dan para kepala cabangnya di sebuah perusahaan raksasa, sang direktur menceriterakan betapa ketulusan bisa mengubah keluhan menjadi pengembangan bisnis. Tentunya dalam  situasi keluhan, mulut manis, senyum dan semua tata cara servis yang standar tidak selalu bisa berlaku lagi. Para pebisnis sangat paham dan bisa membedakan antara komitmen, permintaan maaf dan janji yang dikatakan dengan tulus dan basa basi apalagi kosong.  Kecocokan omongan dengan kenyataan di masyarakat sebenarnya  hanya memberlakukan ujian satu kali: ”Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Terkadang, tanpa perlu ujian, orang yang cukup matang sudah bisa merasakan tulus tidaknya seseorang dalam satu kali pertemuan.

Demikian pula di organisasi. Bisa saja seseorang karena pandainya, katakanlah  bermanis mulut, mendapatkan simpati dari atasannya. Tentunya arah penilaian yang obyektif terletak pada kapabilitasnya. Disinilah ujian individu sebenarnya, untuk kembali menelaah dirinya: ”kompetenkah saya?” Kondisi yang sering ‘mengangkat’ individu karena kekuatan ‘lobby’ nya ini, sering menyebabkan individu malas berintrospeksi dan terbawa pada situasi ‘semu’ yang penuh ketidak benaran. Bahkan, ia akan berusaha keras, agar ketidak benaran ini dipertahankan melalui manuver-manuver yang ‘tricky’ lagi. Sebenarnya individu yang mulai lepas dari ‘self knowledge’ begini, sudah kehilangan kesempatan emas untuk maju. Ia mempunyai pandangan yang semu mengenai dirinya. Dan mulai tergantung pada atribut, norma, manuver sosial palsu saja untuk mempertahankan posisinya.

Tanpa harus mengurangi rasa percaya diri, sebenarnya setiap individu perlu duduk dan bersandar, untuk menelaah dirinya. Apakah informasi, pengetahuan, kapabilitas, ketrampilan, serta praktik-praktik yang dilakukannya  masih sejalan dengan kaidah profesi, kejujuran dan ‘fairness’ di lingkungan sosial yang  general. Groucho Marx: “The secret to life is honesty and fair dealing. If you can fake that, you’ve got it made”.

Dengan contoh bahwa ketulusan bisa menguntungkan, bahkan di bidang bisnis, maka kita memang pantas mempertimbangkan untuk memperkuatnya dari hari ke hari. Kita bisa memulainya dengan lebih mendengarkan kata hati: apakah apa yang saya ucapkan ini benar datang dari lubuk hati yang paling dalam atau sekedar di bibir saja? Kitapun bisa meyakinkan diri, bahwa  ketidaktulusan bila diteruskan tidak akan berbuah manis. Bayangkan bila kita menjadi seorang pemimpin, bisakah kita membangkitkan ‘trust’ bila tidak tulus? Trust bila menjadi pelumas hubungan dan transaksi bisnis, sementara ketidaktulusan mau tidak mau akan menjadi penghambat.  Tanpa ketulusan, kebersamaan pun akan kering, tidak ber’nyawa’.

Beberapa teman yang tergabung dalam organisasi besar yang penuh dengan office politics, seperti menusuk dari belakang dan saling sikut menyikut, tetap bisa berjalan maju dengan tenang dan tidak  mengesankan terimbas oleh adanya pengaruh basa basi, cari muka, dan ketidak tulusan. Ketika saya tanyai salah seorang teman,  apa rahasianya, ia tenang tenang menjawab, “saya banyak melakukan komunikasi tertulis, di hampir semua komunikasi, formal dan tidak formal”. Dengan semua komunikasi tercatat begini, hampir tidak mungkin orang mengingkari apa yang pernah ia katakan. Selain itu, dengan menulis, kita bisa bermain kata-kata, mencari  ekspresi yang tepat, dan sekaligus bisa justru membudayakan transparansi, karena pembicaraan atau hasil pembicaraannya bisa kita ‘share’ dengan pihak yang perlu mengetahui dan terkait dengan urusan yang sedang dikerjakan. Kitapun dalam pemecahan masalah bisa menyebut kembali sasaran utama perusahaan sehingga dengan sendirinya motif pribadi akan tersingkir dan didominasi dengan motif untuk men-support sasaran dan nilai nilai perusahaan.

”Menulis membuat kita lebih ‘aware’" ungkapnya. Bila terasa masih ada agenda agenda pribadi, kita tidak perlu segan segan memberantasnya, kepentingan lembaga yang sebetulnya adalah kepentingan umum, pasti tidak bisa kalah oleh kepentingan pribadi. Rasanya tetap lebih baik membuang kemunafikan dari perbendaharaan ekspresi kita, karena metode itu perlahan lahan akan membunuh pribadi kita sendiri.

[oleh Eileen Rachman & Sylvina Savitri via Experd]