Permulaan

Sudah tiga bulan saya tinggal di negara kincir angin. Ya, saya resmi bekerja dan diakui oleh pemerintah setempat setelah diterima bekerja di sebuah perusahaan startup yang sedang melambung namanya. Di negeri tanpa kenalan sama sekali ini saya dihadapkan pada kondisi bahwa semuanya baru, mulai dari tempat tinggal, jalan ke kantor, hingga lingkungan termasuk rekan kerja.

Menghadapi hal baru itu menyenangkan karena kita dihadapkan pada sesuatu yang hampir semuanya menarik. Namun, di saat yang bersamaan dihadapkan pada tantangan-tantangan. Dan cerita pertama adalah tentang menjadi muslim.

Berikut ini kira-kira pertanyaan saya (dan juga keluarga) sebelum resmi tinggal:

  • Bagaimana nanti soal makanan halal?
  • Apakah kantor mengijinkan jika perlu menunaikan sholat Dhuhr, Asr dan/atau Jum’ah?
  • Dan lanjutan dari pertanyaan kedua adalah, sholatnya di mana?

Ketika dipanggil untuk interview yang kesekian kalinya, yang mana harus datang ke Belanda, saya dengan tegas menyampaikan satu permintaan agar dibolehkan untuk “kabur” selama 1-2 jam setiap Jumat siang. Saat itu, calon bos mengatakan, “Sure. No problem.”

Belakangan, ketika saya menceritakan permintaan ini kepada salah seorang kolega, yang juga muslim, dia sedikit terkejut. Bisa jadi karena bos yang memperbolehkan, bisa juga karena keterbukaan (atau tepatnya permintaan) yang tanpa tedeng aling-aling.

Minggu Pertama

Mengetahui hadirnya seseorang yang baru dengan budaya yang berbeda, para kolega menanyakan banyak hal termasuk bagaimana cara menjalankan ibadah. Kemudian mengalirlah cerita mengenai kebutuhan ibadah secara singkat. Pada akhirnya seorang kolega menyarankan untuk menanyakan pada departemen yang mengurusi kebutuhan kantor, siapa tahu ada ruangan nganggur yang bisa dipakai untuk tempat sholat.

Beberapa jam kemudian, ketika saya masih sibuk mempelajari kantor dan suasana baru, si kolega tadi menghampiri dan menyebutkan bahwa dia sudah mendiskusikan hal tersebut. Rupanya, tidak ada ruangan nganggur yang bisa dibuat khusus untuk memenuhi kebutuhan ini. Tapi, manajemen kantor mengatakan akan menghubungi saya jika ada kabar lanjutan ketika mereka sedang mencari pilihan solusi.

Saya pun berterima kasih dan dengan sabar menunggu kabar. Sementara itu, karena Belanda sedang bermusim panas yang mana matahari terbit pukul 6 pagi dan tenggelam pukul 9.30 malam, saya menunaikan sholat Dhuhr dan Asr di apartemen. Iya, mepet.

Ruang meeting

Dua minggu kemudian, tim yang menangani urusan kantor tadi menghubungi dan menyebutkan mereka akan memblok satu ruangan meeting selama 15 menit setiap hari pada jam sesuai permintaan dari saya. Di sana saya bisa sholat Dhuhr. Alhamdulillah.

Lho? Bagaimana dengan masjid sekitar kantor?

Singkatnya, nggak ada. Jika mau memaksakan, maka saya perlu menempuh jarak 2km. Mengingat saya tak punya sepeda, urusan jadi tambah repot.

Dukungan lain

Ketika menceritakan soal ibadah, saya pun tak lupa menyebutkan makanan apa saja yang tak bisa dimakan. Ketika jam makan siang di kantin kantor, kolega pun menunjukkan mana yang mengandung babi supaya saya ngeh. Jika mereka tak yakin tentang menunya, ya saya pergi ke tukang dapur menanyakan apa kandungan dalam menunya dan apakah aman untuk dimakan.

Tak cuma sampai di situ.

Kerap ada yang membawa cemilan di kantor. Dari stroopwafel sampai permen. Dari gummy-bears sampai permen asin khas Belanda seperti merk Wilhelmina, Klene Zeezout yang rasanya asam-dan-asin, dan sebagainya.

Zeezout

Suatu kali si kolega menawarkan Klene Zeezout dan saya pun mencicipinya. Rasanya lumayan, tentu saja bukan manis. Katanya, “You’re kind of special. Because most non-Dutch people would spit this out right away.”

“Sai, this zeezout contains gelatine. Can you eat gelatine?”

Teriak rekan tadi beberapa menit kemudian. Saya pun menghampirinya yang sibuk browsing kandungan permen Klene ini. Tapi tak ada info berarti. Ketika saya memuntahkan permen tadi, terjadilah diskusi apa sih bahan dasar gelatine dan seterusnya.

Pada akhirnya dia bilang akan menyurati produsen dan menanyakan kandungan gelatine yang mereka punya ini. Apakah dari lemak/tulang babi atau hewan lain atau gelatine buatan.

Sejauh ini, proses menjalankan ibadah dan menjadi muslim tidak sulit. Para kolega mendukung jika saya harus kabur beberapa saat untuk sholat. Ketika ruangan meeting yang seyogyanya dipesan untuk sembahyang dipakai oleh orang lain, saya pun memanfaatkan gudang untuk tempat sembahyang.

Ketika bos atau rekan kerja masuk ke gudang dan menemukan saya sedang sembahyang, mereka pun dengan sopan keluar dari gudang dan menunggu hingga prosesi sembahyang saya usai.

Sholat di gudang

Tahun Depan

Saat ini kantor sedang berkembang dengan pesat dan tahun depan akan memiliki 6 lantai tambahan baru. Departemen urusan kantor sudah menyampaikan ke saya mereka telah memesan satu ruangan untuk tempat ibadah bersama. Yay!


PS: Ya, saya membuat sendiri kata “ber-Islam” karena memang tak ada di KBBI