Setelah berhijrah ke Belanda, tak ada lagi masjid yang mudah ditemui untuk sekedar sholat Jum’at, apalagi kalau mau mencari masjid yang menggunakan ceramah berbahasa Indonesia. Jika mau gampang, maka pilihannya adalah mencari masjid yang berbahasa Inggris. Tapi ini juga bukan perkara gampang karena sebagian besar warga yang menunaikan sholat di Amsterdam ini berasal dari negara-negara di Afrika Utara seperti Maroko, Aljazair, dan Mesir atau negara di bagian Timur Tengah dari Arab Saudi hingga Qatar.

Meski mereka telah fasih berbahasa Belanda, mereka memilih bahasa Arab untuk kegiatan di masjid. Karena itulah lebih mudah menemukan masjid dengan ceramah berbahasa Arab dibandingkan yang berbahasa Inggris atau Belanda.

Untungnya, saya pernah (terpaksa) belajar bahasa Arab selama tiga tahun secara intensif di sebuah pesantren modern di kaki bukit dekat kota Bondowoso. Sebelumnya, ada juga kelas bahasa Arab di sekolah menengah pertama yang materinya tidak mendalam mungkin karena permasalahan waktu dan sebagainya.

Entah kenapa saya nyantri. Persisnya lupa apakah karena keinginan orang tua atau karena kehendak pribadi. Yang pasti setelah lulus SMP, saya, bapak, dan seorang teman naik bus selama lebih dari enam jam hingga sampai tujuan. Perjalanan ini masih jelas terpatri dalam ingatan detailnya, termasuk bagaimana saya jengkel karena beberapa penumpang yang berbahasa Madura meledek teman tadi.

Sebelum masuk pesantren kami melewati pasar dengan aroma tape yang cukup menyengat. Aroma yang pada akhirnya membuat saya jatuh cinta sama tape.

Kami tiba di pesantren sore hari menjelang maghrib dan dipersilakan tidur di tempat tidur bertingkat untuk tamu. Karena bapak harus kembali mengurus ladang dan sapi, keesokan harinya beliau kembali menempuh perjalanan pulang meninggalkan saya sendirian yang mulai merasa kesepian. Karena status yang masih belum santri, saya cuma nganggur selama tiga atau empat hari tanpa kegiatan pasti. Ini juga karena disebabkan santri yang berada di pesantren sedang berlibur dan pulang ke kampung masing-masing.

Karena saya masuk sebagai calon santri untuk level madrasah aliyah (SMA) yang semua pelajarannya berbahasa Arab dan/atau Inggris, dan tak ada sertifikat pendukung yang menerangkan status kedua bahasa tersebut yang saya miliki, maka saya harus masuk kelas persiapan yang berlangsung selama satu tahun. Kami menyebutnya kelas takhassus alias kelas khusus.

Selama satu tahun ini kami ‘dijejali’ pelajaran bahasa Arab dengan buku acuan yang digunakan oleh mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Mesir. Setiap hari Sabtu hingga Kamis ada dua jam pelajaran yang khusus untuk bahasa Arab. Iya, kami hanya libur dari rutinitas sekolah pada hari Jum’at.

Tak cuma sampai di situ, karena dalam keseharian kami juga ‘dipaksa’ untuk menggunakan bahasa Arab pada minggu ini, dan bahasa Inggris pada minggu berikutnya. Begitu seterusnya berganti-ganti kami berkomunikasi selama berkegiatan, dari bergosip tentang Israel dan Amerika hingga hitungan dalam senam pagi atau ngobrol santai saat menggunting tanaman di pagar pesantren.

Sebenarnya ini persoalan mau tak mau. Karena jika kedapatan menggunakan bahasa lain dari ketentuan minggu tersebut, sang korban akan mendapat hukuman pecut kaki dengan kabel NYM dua sampai sepuluh kali tergantung tingkat kesalahannya. Ctar!

Setelah mendapat hukuman tersebut, mulai keesokan harinya mereka akan menjadi mata-mata untuk melaporkan siapa yang kedapatan menggunakan bahasa lain tidak pada waktunya.

Sakit. Dipecut dengan kabel NYM itu sakit sekali. Di minggu-minggu pertama saya sempat merasa mau pingsan ketika mendapat hukuman ini. Ada perasaan kesal, marah, dan juga kepengen pergi meninggalkan pesantren. Tapi itulah kerasnya pendidikan di pesantren. Dan ini baru sebagian kecil.

Tapi itu kejam sekali? Mungkin. Mungkin juga tidak. Karena orang tua kami sudah menyerahkan sepenuhnya bagaimana bentuk pendidikan yang baik dan bermutu dengan biaya 47ribu rupiah setiap bulan; yang mencakup biaya pendidikan, makan, tempat tidur, dan kebutuhan dasar manusia yang lain.

Oke, kembali ke pendidikan bahasa Arab.

Dua kali dalam seminggu kami berlatih untuk ceramah dengan suara yang menggebu dan penuh semangat. Petugas dalam kegiatan ini dipilih secara acak oleh senior kami. Dan jika terpilih menjadi penceramah, kami harus menulisnya dalam Arab atau Inggris (sesuai dengan minggu tersebut) kemudian menyampaikannya di atas mimbar. Ketika naik ke mimbar dan berceramah tentunya kami tidak membaca tulisan tersebut, melainkan menghafalkannya. Ketika ceramah berlangsung, beberapa orang senior akan menelaah isi serta tata bahasa dan memberikan saran atau masukan jika perlu.

Selama di pesantren inilah bahasa favorit saya adalah Arab dan bahasa yang tidak favorit adalah Inggris. Kami semua fasih ngomong bahasa Arab layaknya syekh-syekh dari Timur Tengah. Ketika syekh dari Mesir atau Madinah datang memberikan ceramah, kami tak butuh lagi seorang penerjemah. Urusan membaca kitab Arab baik berharakat atau gundul juga remeh. Begitu pun jika kami kedatangan tamu dari Singapura yang menyumbangkan komputer sebanyak 47 buah dan memberikan sambutan dalam bahasa Inggris.

15 tahun berlalu tanpa praktik dan saya dihadapkan kembali pada ceramah berbahasa Arab. Karena beberapa kosakata memang telah lenyap dari otak ini, setiap Jumat saya masih bisa memahami sebagian apa yang disampaikan oleh khatib. Sebagian lainnya tidak saya pahami karena kadang khatib berbicara cepat sekali layaknya orang Mesir ngobrol di pasar atau karena adanya kosakata yang saya telah lupa. Setidaknya, masih ada yang bisa dibawa pulang dari masjid.

Begitulah secuil cerita mengenai saya nyantri dan bagaimana pelajaran bahasa Arab memberikan sesuatu yang bermanfaat setelah sekian tahun lamanya.

Karena nyantri saya bisa menikmati dan memahami isi ceramah dalam khutbah Jumat meski tak lagi berada di Indonesia.

PS: At one point, I violated one of the rules and they hit me so hard my leg was bleeding. It gave me scars that stayed about two or three months. And now, I laugh about it. :grinning: