Terlahir sebagai seorang ndeso, aku memang culun. Dengan perawakan yang biasa saja, aku menjalani hidupku sebagai bocah ndeso tanpa prestasi apapun. Di taman kanak-kanak, aku hanya seorang bocah kecil dengan pipi tembem yang setiap harinya membuat repot guru karena mimisan. Sebuah kebiasaan yang tidak biasa bagi orang normal, namun itu menjadi hal yang setiap hari terjadi padaku. Setiap hari. Mimisan.

Memasuki sekolah dasar nasibku tak juga berubah. Aku masih seorang bocah dengan perawakan kurus dan sepatu butut yang robek di ujung depan dan sisi jari kelingking. Terbiasa dengan kejepit pintu yang membuat kuku jari tanganku lepas. Atau tertimpa kursi yang membuat kuku jempol kaki kananku lepas. Atau terkena lemparan batu nyasar di kepala. Kelas enam sekolah dasar aku bahkan tidak bisa menggambar sama sekali. Tidak juga menggambar gunung.

Sekolah lanjutan tingkat pertama adalah tempat dimana aku berkenalan dengan komputer. Sebuah perangkat yang pada akhirnya membuatku jatuh hati. Saat itu aku berkenalan dengan DOS yang entah versi berapa. Saat itu aku tak tahu apapun tentang komputer.

Memasuki sekolah setingkat sekolah menengah atas, Madrasah Aliyah tepatnya, aku masih belum tahu banyak tentang komputer. Namun di sinilah tempat aku menempa dan berjuang untuk mendapatkan pengetahuan lebih banyak tentang komputer. Aku berpetualang ke sebuah kota yang jauhnya memakan waktu 10 jam dari desa kecilku. Bukan hal biasa memang mengingat postur tubuhku saat itu sangat kecil.

Aku banyak belajar komputer di sekolah ini lewat mencuri. Bukan mencuri komputer, tetapi mencuri waktu dan kesempatan untuk bisa belajar. Perjuangan untuk belajar bagiku tak boleh berhenti. Belajar komputer mulai dari sembunyi-sembunyi hingga harus terjepit jendela dengan lebar tak lebih dari 20 centi. Akhirnya, aku dinobatkan sebagai kontributor penggodokan proposal persetujuan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah plus tukang ketik. Karena lelah, aku memutuskan keluar dan berpindah sekolah. Di sekolah yang baru, aku hanya bisa mengikuti kelas komputer sekali karena guruku bilang ‘cukup, kamu sudah pintar.’

Kelanjutan kecintaan pada komputer membawaku untuk berpetualang di sebuah kota industri yang panas, Surabaya. Delapan bulan bersama si kembar yang kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) membuatku berpikir bahwa komputer memang menarik.  Akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan belajar tentang komputer bersama mereka mulai dari melakukan instalasi komputer setiap malam hingga membuat animasi dengan Macromedia Flash (waktu itu).

Keberuntungan berpihak padaku dan membawaku kuliah di sebuah universitas bergengsi di Semarang. Aku sebut keberuntungan karena aku cuma seorang bocah ndeso dengan prestasi yang minim. Banyak tetanggaku bertanya, “How could you?”

Ini bukan cerita tentang kesombongan, karena sampai saat ini aku masih belum bisa apa2, kecuali menipu diriku sendiri. ;-)

Terima kasih untuk TUHAN yang satu dengan segala kebijaksanaannya dan teman-teman atas budi baiknya. (tpos/sm/me)