Ramadhan, sebuah pembelajaran…
Siapa yang tak kenal jam karetnya orang Indonesia. Siapa yang tidak akan bilang bahwa orang Indonesia adalah ahli dalam hal molorisasi. Semua orang dari negara mana saja tahu akan hal itu dan mengakuinya. Sebuah kenyataan dan predikat yang tidak patut untuk dibanggakan. Sebuah predikat yang harus diubah dan dilakukan perubahan besar-besaran untuk ke depan lebih baik.
Ramadhan baru saja berjalan beberapa hari yang lalu. Bulan yang katanya penuh dengan rahmat, ampunan, kebahagiaan, keindahan dan lain sebagainya. Bulan dimana umat Muhammad shollallahu’alaihiwasalam menikmati berbagai kebahagiaan dan rahmat dengan berpuasa dan beribadah sebanyak yang mereka mau. Bulan dimana manusia yang beriman dipanggil untuk berpuasa agar menjadi hamba Tuhan (Allah) yang bertakwa. Panggilan yang hanya ditujukan oleh hambaNya yang beriman saja, bukan semuanya.
Bulan yang setiap harinya diawali dengan sahur sebelum memasuki waktu sholat shubuh (imsak), menahan nafsu, lapar, dahaga selama satu hari hingga tiba waktu maghrib untuk berbuka. Dan ketika waktu berbuka tiba, maka semua yang berpuasa harus berbuka tepat pada waktunya. Tidak ada yang boleh menunda hingga waktu isya’ tiba. Apa yang bisa dipelajari dari berpuasa? Jawabannya adalah satu, disiplin. Disiplin dalam menjalankan segala hal. Dimulai dari makan sahur sebelum shubuh untuk tidak ditembus batas tersebut. Dan yang paling penting adalah disiplin untuk tepat waktu pada saat berbuka. Bahkan disunnahkan untuk disegerakan. Sebuah pembelajaran untuk tepat waktu atau untuk menyegerakan hal yang sudah seharusnya dikerjakan.
Disiplin di bulan ramadhan ini adalah sebuah bentuk pembelajaran yang jika diterapkan maka akan menjadi sebuah kebiasaan dan keutamaan diri yang luar biasa. Kedisiplinan yang begitu utama dalam kehidupan manusia. Namun, sudahkah terlaksana dengan baik? Sudahkah diterapkan untuk disiplin selain saat berbuka? Datang ke tempat belajar (kuliah) misalnya? Lalu, bagaimana dengan janji-janji dengan teman, sahabat, atasan, dosen dan sebagainya? Sudahkah? Mungkin saya pun belum. Saya bukan menggurui atau menasehati, karena saya pikir semua sudah mengerti atau bahkan jauh lebih mengerti. Saya hanya mengingatkan dan mengajak untuk introspeksi dan pada akhirnya memperbaiki kebiasaan yang tidak layak untuk dipuji. Mari…