Ketika nyantri dulu saya tidak memiliki cukup uang untuk bisa membeli jajan. Selama satu minggu, belum tentu ada jajan atau makanan selain dari yang disediakan pesantren, tiga kali per hari, yang bisa dikunyah. Walau sebenarnya saya tak sendirian. Karena santri lain yang memiliki uang untuk jajan pun belum tentu bisa menikmati jajanan selain yang dibawakan oleh walinya yang sedang berkunjung. Ada batasan waktu untuk bisa keluar pesantren dan membeli jajan.

Tapi setidaknya, setiap Jumat pagi ada banyak jajanan yang bisa saya makan. Karena kebaikan teman-teman yang mau berbagi jajanan. :)

Di semester kedua kelas takhassus, jika tadinya kelas kami dicampur antara laki-laki dan perempuan (meski area posisi duduknya dibatasi), kini kami benar-benar dipisah. Dan karena keadaan ini, maka tak cukup ruang kelas untuk menampung kelas yang tadinya cuma tujuh (tiga kelas setingkat SMP, tiga kelas setingkat SMA, dan satu kelas takhassus) dan beranak menjadi 14.

Saya tak ingat persis di mana kelas-kelas lainnya, tapi kelasku yang takhassus laki-laki mendapat tempat di dapur. Dapur adalah sebuah ruangan kosong seluas lapangan basket, memiliki beratap dan tembok setengah badan. Ruangan ini berlokasi di pojok pesantren dan jauh dari kelas resmi sebelumnya. Bahkan jauh dari mana-mana.

Tapi kelas ini memiliki kelebihan sebagai berikut:

  • berlokasi di belakang asrama laki-laki
  • (dekat dengan) dapur
  • memiliki cuaca sejuk dan angin segar karena berada di samping lahan pertanian
  • bersebelahan dengan kebun pepaya milik pesantren.. atau milik Umi (istri dari pimpinan pesantren); saya tak ingat pastinya

Karena kelebihan-kelebihan tersebut lah, kami yang merasa terpencil ini merasa tetap senang.

Jika di kelas sebelumnya, kami harus lari untuk sampai di ruangan kelas, sekarang kami tinggal ‘lompat’ dari asrama dan sampai lah di kelas tanpa kuatir ketinggalan kelas atau dihukum oleh senior. Dan karena berlokasi di dapur, kami selalu dapat antrian paling depan saat makan siang tanpa susah payah lari-lari. Kami lah yang pertama tahu menu apa yang sedang disajikan dan kapan makanan datang. Jika hari sedang panas terik dan angin sedang bagus, kelas pun tak kuatir dengan cuaca karena ada cukup angin untuk membuat ruangan tetap memiliki sirkulasi udara yang bagus.

Dan sebagaimana sekolah-sekolah lainnya, kelas yang jauh dari ruang guru/ustad memiliki persentase yang cukup tinggi untuk tidak diperhatikan, termasuk kosongnya jadwal pelajaran. Selama berkelas di gedung resmi, jika ada jadwal kosong maka seorang ustad akan datang dan mengisi jadwal tersebut. Tapi karena lokasi yang jauh dari gedung sekolah, tak ada yang tahu bahwa kelas saat ini kosong sehingga kami lolos dari kelas pengganti. Ketika hal ini terjadi, maka ada dua pilihan kegiatan yang semuanya menyenangkan: (1) tidur di kelas, atau (2) pergi ke kebun pepaya.

Tidur siang-siang adalah anugerah karena saat malam hari, jatah tidur resmi kami cuma enam jam saja. Yaitu dari jam sembilan malam hingga tiga dini hari. Maka jika ada kesempatan untuk bisa tidur, tidak boleh disia-siakan. Meski sambil duduk di kursi kelas berbantal buku tipis, yang penting tetap bisa ngiler.

Hal kedua yang lebih menyenangkan adalah makan pepaya mentah.

Beberapa orang akan pergi ke kebun pepaya dan melihat-lihat mana yang sudah ‘cukup mentah’ untuk bisa dimakan. Biasanya cuma ada satu atau dua saja yang bisa diambil. Selanjutnya pepaya mentah ini dikupas dan ditunggu beberapa saat hingga semua getahnya keluar. Kemudian pepaya akan dipotong-potong dan siap disantap. Tapi, dimakan sama apa? Pepaya matang sih enak dimakan tanpa apapun. Jawabannya adalah garam.

Garam ini didapat dari dapur pesantren dan biasanya berbentuk halus. Ambil sepotong pepaya, oleskan sedikit garam, dan yum.. Saya tak ingat persis ide siapakah ini. Tapi yang jelas garam memang penyelamat rasa.

Jika sedang beruntung, ada yang memiliki bumbu mi instan, pepaya mentah menjadi jauh lebih enak dikonsumsi.

Hal ini berlangsung lebih dari satu tahun karena kelas kami tetap di dapur selama lebih dari setahun. Dan tentu saja ada masa pepaya tak berbuah sehingga tak ada ‘jajanan’ ala kami.

Kalau ditanya apakah saya masih mau makan pepaya mentah, jawabannya kenapa tidak? Apalagi kalau ada bumbu rujak. Haha