Terakhir kali berarung jeram adalah saat saya duduk di bangku kuliah. Saat itu saya aktif sebagai trainer outbond bersama beberapa kawan senior untuk bersenang-senang dan tentu saja dapat duit. Setelah beberapa tahun lamanya, akhirnya saya kembali mengarungi sungai bersama sebuah organizer bernama Riam Jeram.

Namun, kali ini saya tidak akan menceritakan detail bagaimana perjalanan arung jeram yang kami lakukan pada 8 April kemarin, melainkan apa yang bisa disimpulkan supaya menjadi pelajaran bagi banyak orang, my takeaways. Maka, tanpa basa-basi…

Macet; Kami akan mengarungi Sungai Cicatih (atau Citatih –sepertinya sama saja) yang berada di kawasan Sukabumi, persisnya di Warung Kiara. Ini berarti rute dari Jakarta harus melewati Bogor dan kemudian ke arah Sukabumi melewati pasar Cicurug, pasar Cibadak dan lain-lain. Jalan mulai dari keluar tol menuju Sukabumi ini cuma terdiri dari dua lajur yang berlawanan, yaitu kanan dan lajur kiri. Dengan adanya beberapa pasar di beberapa titik menjadikan trafik kendaraan sedemikian lambat apalagi di saat akhir pekan.

Nah, untuk menambah serunya kemacetan, di beberapa titik juga bisa ditemui adanya lubang, sepertinya karena efek sering hujan, yang tidak bisa dilewati kendaraan karena saking parahnya serta proyek perbaikan/pelebaran jalan. Saking macetnya jalanan, ada yang sempat mampir ke sebuah mini-market untuk numpang buang air kecil dan seorang lainnya membeli gorengan. Seru sekali.

Perjalanan pulang juga lebih parah. Saya dan beberapa teman sempat turun dari bus dan berjalan kaki untuk mencari toilet sebelum akhir kembali naik ke bus.

Warung Kiara ke Sungai; Setelah terlambat 2 jam dari rencana, akhirnya kami sampai juga di Warung Kiara, Sukabumi. Setelah bertemu dengan tim dari Riam Jeram, kami pun bergegas menuju sungai dengan pilihan dua jenis kendaraan: (1) mobil pick-up, lebih tepatnya truk setengah yang biasanya digunakan untuk mengangkut pasir; dan (2) mobil angkutan kota alias angkot. Dan di sinilah inti dari semua tulisan ini.

Secara kompak, semua peserta memilih naik truk dengan berbahagia dan dimulai dengan berfoto bersama. Mungkin karena memang sudah terlalu bosan dengan angkot, dan tidak pernah naik truk, pokoknya bahagia. Kalau saya sih, selalu bahagia naik truk atau sejenisnya sejak jaman SD. Bahkan saya pernah naik truk selama 6 jam pergi dan pulang, karena memang adanya cuma itu, untuk PERSAMI. Tapi perjalanannya menyenangkan karena jalanan di Tuban telah diaspal semuanya bahkan pelosok desa sekalipun.

Ternyata, jalanan dari Warung Kiara menuju sungai Cicatih sangat tidak manusiawi. Sepanjang jalan itu yang bagus cuma 100 meter awal dan 100 meter lagi di bagian tengah dan sisanya yang 2-3km terdiri dari jalanan berbatu yang tidak keruan dan berlubang sehingga membuat kami semua terlontar setiap saat. Sebagian dari kami duduk karena kondisi ini dan sebagian lain, termasuk saya, duduk di tepian truk. Apesnya, saya duduk di tepian belakang sehingga mendapatkan dua kali, atau lebih, hempasan dari bagian depan mobil dengan titik hempas dan bidang pendaratan berupa besi.

Meski begitu kami tetap tertawa saja merasakan perjalanan yang luar biasa ini. After all, we’re looking for an adventure. Saya sendiri tetap duduk di pinggir karena pikiran sok tahu bahwa kalaupun di bawah nasibnya juga sama saja, kalau tidak lebih parah. Sesungguhnya sih saya tidak tahu mana yang lebih baik. Yang pasti, belakangan pantat saya sakit bukan main gara-gara hal ini.

Jadi, kalau mau mengarungi Sungai Cicatih, JANGAN NAIK TRUK. Kalaupun naik truk, pilihlah di bagian depan dengan posisi berdiri.

Perahu; Mengarungi sungai, yang dilakukan dengan tujuan bersenang-senang, tanpa jatuh ke sungai sebenarnya tidaklah afdol. Untuk bisa begitu, pemilihan anggota tim haruslah tepat sehingga satu perahu kompak bisa dibalikkan ketika di sungai.

Arung jeram

Arung jeram

Arung jeram

Arung jeram

Arung jeram

Arung jeram

Kami sendiri dibagi menjadi 6 perahu yang salah satunya berisi cowok semua (gambar keenam). Alhasil, mereka inilah yang paling gila karena perahunya beberapa dibalikkan oleh tim Riam Jeram. Bagaimana dengan saya? Perahu kami mengarungi sungai dengan elegan dan damai. Kecuali ketika kami nyangkut di sebuah batu dan ditabrak oleh perahu lainnya yang mengakibatkan seorang rekan, perempuan, jatuh dan terbawa arus beberapa meter sebelum akhirnya diselamatkan.

Sementara itu, perahu lain yang semua isinya perempuan (gambar kedua), dan saya yakin tidak punya niatan untuk jatuh ke sungai, justru dibalikkan oleh jeram dua kali. Sepertinya sebagian dari mereka bakal kapok ikut arung jeram lagi. :D

Sungai; Sungai Cicatih sendiri cukup lebar dan dengan kedalaman bervariasi. Untuk perjalanan arung selama 3 jam kami melewati 21 jeram yang semua namanya aneh-aneh dan saya tidak bisa ingat satupun. Sepertinya ada yang namanya kasmaran. Jenis jeram pun bermacam-macam dari yang biasa saja sampai dengan jeram yang cukup panjang dan memiliki arus yang kuat serta bebatuan sebesar kapal. Yang juga tak kalah seru adalah tentu saja kejutan-kejutan di sepanjang sungai.

Setelah 3 jam di sungai kami pun naik ke atas dan beres-beres, termasuk mandi dan makan untuk selanjutnya kembali ke Jakarta. Seberapa macet? Lebih macet.

<src="//www.youtube.com/embed/SfHUm3PtiBM" frameborder=“0”>

Video lainnya ada di sini, sini yang dibuat oleh Ihsan Nugraha dan album lengkapnya di sini karya banyak orang seperti Hang Nadi, Felix Juwono, dan Eka Risky (tukang upload).

PS: I don’t know for sure whether it is Sungai Citatih or Sungai Cicatih. I cannot find credible source to verify. Sorry.