MASALAH pertahanan negara menjadi perkara yang semakin merisaukan. Tidak semata oleh kalangan militer, tetapi oleh masyarakat luas. Kerisauan utama dan terutama adalah pada kondisi persenjataan yang uzur. Ibu Pertiwi kian tidak aman bermodalkan senjata-senjata yang lebih pantas menjadi barang rongsokan.

Fakta berikut memperkuat kerisauan. Sekitar 70% alat utama sistem persenjataan tidak bisa beroperasi karena usia tua. Itu adalah tingkat kesiagaan yang buruk, bahkan kritis bagi sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17 ribu pulau dan luas mendekati 2 juta kilometer persegi (1.919.000 km2).

Belanja pertahanan Indonesia, memang, terkenal buruk. Tidak cuma sekarang di saat krisis keuangan masih menerpa, tetapi juga di era Orde Baru ketika minyak masih menjadi primadona. Alokasi APBN untuk pertahanan tidak pernah melampaui 1%.

Sekarang, ketika sistem persenjataan negara telah begitu buruknya, APBN 2008 untuk sektor pertahanan adalah Rp36 triliun, atau setara dengan 0,7% APBN. Angka yang sudah sangat rendah itu terancam menciut lagi karena Departemen Keuangan berniat memotong belanja Departemen Pertahanan 2008 sebesar 15% karena krisis anggaran.

Bila saat ini banyak yang berteriak tentang kerapuhan sistem persenjataan TNI, teriakan itu tidak disebabkan pikiran tentang ancaman perang dari mana pun. Dalam situasi damai pun sistem persenjataan seperti itu adalah bunuh diri. Apalagi kalau berbicara tentang situasi perang. Andai kata saat ini ada satu negara tetangga yang mengumumkan perang dengan Indonesia, tidak ada jaminan kita keluar sebagai pemenang.

Sesungguhnya kita telah kehilangan kedaulatan di laut karena tidak ada lagi kapal-kapal patroli TNI Angkatan Laut yang mampu menjaga wilayah ini dari pencurian ikan oleh nelayan asing dan penyelundupan. Ikan, kayu, dan pasir timah yang dicuri setiap tahun melampaui angka Rp100 triliun. Kapal perang TNI kalah cepat dari kapal ikan milik nelayan milik Thailand, Taiwan, dan Filipina.

read more on MIOL