Malapetaka Interpelasi – Editorial MIOL
LAGI-LAGI interpelasi dipentaskan Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan. Sebagaimana beberapa interpelasi sebelumnya, pentas itu lebih mempertontonkan dagelan daripada substansi. Dagelan interupsi dan dagelan walk-out. Substansi dibiarkan mengambang agar menjadi alasan untuk interpelasi lanjutan.
Bantuan likuiditas Bank Indonesia, kebijakan yang diambil pemerintah 10 tahun lalu untuk menyelamatkan bank-bank dari kehancuran akibat hantaman krisis waktu itu, tiba-tiba disepakati menjadi agenda interpelasi di akhir masa sidang tahun 2007 tanpa banyak keberatan dari fraksi-fraksi.
Dalam sidang interpelasi kemarin, DPR lebih sibuk mempermasalahkan ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono daripada menjawab persoalan paling krusial, yaitu bagaimana dengan keputusan-keputusan pemerintah sebelumnya tentang penyelesaian BLBI yang hingga kini masih berlaku dan sah.
Dengan mempersoalkan terus-menerus ketidakhadiran Presiden dalam sidang interpelasi, DPR telah melakukan pembodohan terhadap masyarakat. Karena sangat jelas dalam aturan bahwa Presiden bisa mewakilkan kepada menteri untuk menjawab interpelasi di DPR. Kalau terus mempersoalkan perkara yang sudah terang benderang aturannya, patut dipertanyakan kesungguhan dan kapasitas belajar para anggota dewan terhormat itu.
Kekonyolan tidaklah terbatas pada keasyikan DPR membelenggu dirinya pada pembodohan. Tetapi lebih dari itu, DPR ikut menenggelamkan bangsa dan negara dalam kekelaman yang amat fundamental.
Pertama, dengan mempersoalkan BLBI, DPR sesungguhnya tidak berupaya menegakkan hukum, tetapi menjalankan destruksi. Bahaya terbesar bagi bangsa ini ke depan adalah pengingkaran terhadap legalitas kebijakan masa lalu. Pemerintahan masa kini bersama DPR masa kini mengeliminasi keputusan pemerintahan sebelumnya. Dengan demikian, tidak ada permasalahan yang selesai di Republik ini. Itu ketololan yang amat menyedihkan.