Kezaliman
Kata zalim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna bengis; tidak menaruh belas kasihan; tidak adil; kejam. Hal ini sedikit berbeda dengan makna zalim dalam bahasa aslinya, Arab, yang bermakna tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Hal ini menjadikan zalim memiliki definisi yang sama dengan lalim. Lebih tepatnya, lalim memiliki definisi yang sama dengan zalim.
Tentu akan ada yang membantah bahwa memang berbeda antara bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Tetapi, saya memiliki preferensi menggunakan makna dari bahasa aslinya, yaitu Arab. Maka makna kezaliman yang saya pegang adalah segala sesuatu yang dilakukan tidak pada tempatnya. Efeknya tentu saja adalah, sebuah keniscayaan, merugikan orang lain.
Jika demikian apakah makna lalim menjadi berbeda dengan zalim? Iya. Dalam definisi yang saya anut, definisi dalam KBBI untuk zalim menjadi tepat untuk lalim yaitu bengis, tidak menaruh belas kasihan, tidak adil dan kejam. Semuanya tepat untuk definisi lalim.
Tetapi perkara bahasa bukan urusan saya(?) Kalau tidak salah ada ahli mengenai hal ini yang menjadikan KBBI ada dengan bantuan dari pemerintah. Entah apa namanya dan bagaimana suhu politik di dalamnya, itu urusan mereka saja.
Dengan bentuk definisi zalim yang menggunakan segala sesuatu, maka sifatnya adalah umum. Segala sesuatu ini menyangkut perbuatan sekecil apapun termasuk membuang sampah tidak pada tempatnya.
Salah satu bentuk kezaliman yang saya sering lihat adalah mengenai shaf. Tak jarang saya melihat (dan menjadi korban) karena kezaliman anggota lain ketika sholat berjamaah. Kezaliman apakah ini? Kezaliman anggota jamaah dalam wujud mengambil hak barisan di belakangnya.
Jarak antara shaf satu dengan lainnya di musholla atau masjid di Indonesia memang tergolong sempit. Bahkan beberapa musholla terlalu sempit untuk digunakan bersujud. Alasannya sih sederhana, karena musholla yang kecil harus sebisa mungkin dapat menampung jamaah sebanyak mungkin. Karena sempitnya jarak shaf dan susah untuk bersujud, selanjutnya anggota jamaah berusaha untuk menyesuaikan dengan melangkah mundur sedikit dari garis yang seharusnya. Mungkin mundurnya hanya 10 centimeter saja, namun perlu diingat bahwa barisan belakangnya juga tak kalah sempit. Jika anggota jamaah di belakangnya tak bisa memanfaatkan sisa (mungkin orangnya tinggi) akibatnya adalah ia akan menyesuaikan. Dan hal ini bisa terus menerus sampai ke barisan paling belakang.
Dampaknya adalah shaf-shaf tadi menjadi tidak lurus dan sangat mungkin tidak rapat. Hal ini akan mengurangi kesempurnaan sholat jamaah dan sebuah kerugian.
Kezaliman seringkali memiliki alasan. Maka memang tidak bisa dilakukan pengadilan atas kezaliman ini atas satu pihak. Ada akar yang harus dicari sampai kemudian dapat dicari solusinya. Dalam kasus di atas, alasan yang paling masuk akal adalah karena takmir masjid yang membuat jarak antar shaf sangat sempit.
Tugas takmir masjid bukan hanya mengatur jadwal sholat, muadzin, iqamah dan imam. Namun lebih daripada itu takmir masjid juga perlu mengatur agar sholat yang dikerjakan oleh jamaah menjadi khusyuk. Dan salah satu caranya adalah dengan mengatur jarak antara shaf lebih baik (lebih longgar).
Jarak shaf yang lebih longgar selain akan menghindari perbuatan zalim seperti yang saya sebutkan adalah akan memudahkan anggota jamaah yang dalam sholatnya batal dan hendak keluar dari jamaah untuk berwudlu kembali. Dengan jarak yang sempit, keluar dari shaf jamaah merupakan sebuah rintangan yang tidak mudah.
Sebagai tambahan, berbicara mengenai khusyuk, salah seorang ulama mengatakan bahwa jika seseorang sholat sendiri lebih khusyuk daripada berjamaah maka ia sebaiknya sholat sendiri. Tapi kalau ada masjid lain yang bisa dijangkau, ke masjid lain saja.
Catatan: definisi dari KBBI daring