Suatu kali saya sedang memamerkan sebuah access point ke salah seorang rekan di kantor. Dalam kesempatan itu saya memberitahukan kepadanya bahwa meskipun murah dan bentuknya mungil, access point yang satu ini tak pernah panas meski dipakai berjam-jam.

Setelah beberapa saat terdiam sambil memperhatikan, si rekan tadi nyeletuk, “Masih baru itu. Nanti setelah lama panas juga dia.”

Secara spontan hati saya bergolak bagaikan air dalam panci yang dididihkan dan menjawab, “Ya enggak lah. Ini kan gini-gini menang banyak awards di Eropa sana.”

Jauh di dalam hati ada rasa tak terima karena barang yang saya beli ‘dilecehkan.’ Ada perasaan ingin membela produk dan merek ini meskipun saya tak memiliki afiliasi apapun. Bahkan saya baru menggunakan merek ini, di mana barang satu-satunya adalah access point yang sedang saya pamerkan.

Ada kisah lain.

Jika harus jujur, saya tidak begitu suka dengan kampus almamater. Bukan karena kampusnya sebenarnya, melainkan lebih kepada manajemen kampus. Mulai dari rektorat hingga fakultas. Tentu saja saya memiliki pandangan tersendiri mengapa tidak suka. Dan saya tak sendirian dalam hal ini karena dalam beberapa kesempatan tak sedikit dari rekan kampus mengutarakan hal yang sama.

Kemarin, tiba-tiba terjadi kehebohan ketika seorang mahasiswa menjelekkan kampus saya di depan umum. Setelah berbicara dengan beberapa dosen dan alumni saya jadi paham duduk masalahnya.

banser-nu

Dalam beberapa kesempatan baik saya maupun dosen dan alumni yang sesungguhnya tak terlalu suka dengan manajemen kampus balik menjadi pembela. Pada akhirnya kami menjadi pasukan sekelas Banser NU. Bedanya tentu saja Banser NU rela mati demi almarhum Gus Dur, kami rela meluangkan waktu, pikiran dan tenaga demi membela kampus. Kalau harus mati, kami tak mau.

Kami yang sekarang membela kampus ini bukan kalangan yang setia pada kampus. Bukan. Kami tahu bagaimana luar dan dalamnya kampus yang malah ketika kuliah adalah kelompok yang suka memprotes. Sedikit-sedikit memprotes melalui media apapun termasuk menghadirkan manajemen kampus dan duduk untuk ngobrol berjam-jam.

Lalu kisah lain lagi.

Di suatu kesempatan saya pernah dengan sengaja mengutarakan mengapa saya tak suka iOS kepada salah satu rekan kerja yang pengguna setia iOS. Secara spontan dia menjawab dan menyebutkan berbagai kelebihan dan kehebatan operating system buatan Apple ini dengan semangat tahun 1923. Dia merasa saya telah melecehkan iOS dan tak terima akan hal itu.

Ketika mulai menjadi pengguna sebuah produk, dan mungkin akhirnya menjadi pengguna setia, secara tak sadar kita menerima segala kelebihan dan kekurangannya. Dan seiring berjalannya waktu kita mulai bisa menerima kekurangan yang tadinya kita anggap menyebalkan atau tak menyenangkan.

Sebelum menjadi pengguna, atau menjadi penikmat, kita akan menganggap bahwa kekurangan yang ada seharusnya bisa dibenahi dan diperbaiki. Namun seiring berjalannya waktu kita menganggap bahwa kekurangan yang ada tadi sebagai sesuatu yang biasa dan bisa dikesampingkan. Dan bahkan ketika ada yang mencela secara spontan kita akan berada di garis depan menjadi tameng dan rela mati demi membelanya dari orang-orang yang membencinya.

Gejala ini tidak hanya terjadi di kalangan atau kelompok kecil saja, tetapi bisa juga terjadi dalam level yang cukup besar seperti negara.

Seorang wartawan senior pernah mengatakan bahwa masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami hal ini terhadap Jokowi. Akibatnya ketika dalam satu kesempatan media memberitakan sesuatu yang tidak begitu baik tentangnya, pembaca dengan lantang mencaci melalui komentar.

Mungkin perasaan ini yang disebut cinta. Mungkin.

Tapi mungkin juga karena hal lain. Misalnya, tentu saja saya tak sudi access point yang sudah saya beli dijelekkan begitu saja. Karena itu bisa berarti secara tak langsung dia menjelekkan selera dan pilihan yang saya buat sehingga saya tak terima. Enak saja.

Lalu apakah perasaan atau gejala ini akan berhenti sampai di sini? Ataukah ada hal lain yang sedang menunggu di depan sana?

Saya sih berharap di depan sana ada sesuatu.