Cerita: Jalan-jalan ke Kebun Raya Cibodas, Bogor Cianjur
[RALAT] Kebun Raya Cibodas terletak di Kabupaten Cianjur, bukan Bogor. Terima kasih kepada Dika yang memberikan pembetulan dan mohon maaf.
Setelah mengalami berbagai permasalahan akhirnya jadi juga rencana jalan-jalan ke Bogor. Hari itu saya bangun kesiangan sebenarnya, sekitar pukul 9 lewat sekian, lantaran begadang dan baru tidur saat pagi menjelang. Merasa telah merencanakan ke Bogor, saya pun menghubungi Icit karena kami akan pergi bareng. Awalnya kami berencana bertiga bersama Putri, tapi karena Putri harus menjadi budak kapitalis akhirnya hanya berdua saja. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya kami memutuskan untuk tetap berangkat walau hari telah beranjak siang. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. :D
Kami memulai perjalanan ke Bogor dari Stasiun Sudirman menggunakan kereta tanpa tahu akan naik apa dari Bogor ke Cibodas. Dari informasi yang saya dapat ada beberapa versi untuk sampai di Cibodas. Oleh karena itu saya putuskan bakal tanya-tanya saja.
Pukul 10.31 kereta AC dengan tujuan Bogor pun tiba di Stasiun Sudirman. Kami naik ke kereta yang masih sepi saat itu dan belakangan mulai ramai di Stasiun Lenteng Agung. Kereta kami tiba di stasiun Bogor pada pukul 11.40. Suasana siang itu sungguh amat menyengat.
Bertanya pada tukang ojek di sekitar stasiun, kami disarankan menggunakan angkutan bernomor 02. Dari angkutan kami ditunjukkan ke angkutan berikutnya untuk turun di mana dan begitu seterusnya. Setelah berjam-jam di jalan tanpa berhenti dari satu angkutan ke angkutan lain akhirnya kami sampai juga di Cibodas pukul 14.30. karena menurut saja, kami bahkan naik bus Jakarta – Bandung dari Cisarua hingga Cibodas bawah.
Sebelum akhirnya tiba di Cibodas kami melewati daerah Kebun Teh Gunung Mas yang benar-benar indah luar biasa. Bukit-bukit hijau dengan kebun teh yang tersusun dengan rapi dan cantik di kanan dan kiri jalan sungguh mempesona. Tatanan yang sungguh sempurna. Di sini saya sudah ingin turun dan berlari ke bukit-bukit itu alih-alih meneruskan perjalanan ke Cibodas yang tak kunjung sampai.
Oke, kembali ke Cibodas. Setelah membeli tiket masuk seharga Rp. 6.000,- untuk satu orang, kami pun menuju ke dalam. Sesampainya di dalam kami hanya melihat jalan raya dengan pepohonan dan tanah lapang berumput hijau yang luas. Melihat tanah lapang nan hijau saya ingin guling-guling di situ yang kemudian saya urungkan karena ternyata ramai. Malu. :D Tanpa peta wilayah dan hanya berbekal informasi dari internet kami berjalan terus untuk ke Taman Bunga Sakura, yang katanya bisa didapati dengan berjalan lurus dari pintu masuk. Setelah berjalan beberapa ratus meter masih ditemani tanah lapang dan pepohonan akhirnya kami tiba di taman tersebut.
Di Taman Bunga Sakura ini seharusnya ada bunga-bunga Sakura, namun mungkin karena belum musimnya jadi saya tidak melihat bunga Sakura. Ternyata taman ini cukup ramai. Mungkin karena posisinya yang dekat dengan pintu masuk. Ada berdua-duaan, ada yang beramai-ramai dengan kelompok da nada pula yang membawa anaknya. Mereka duduk-duduk di taman ini dan menikmati aliran sungai kecil yang mengalir dari air terjun di pojok taman ini.
Termasuk di bagian taman ini terdapat pula aliran air yang sengaja dibuat membelah jalan dengan batu-batu kecil yang menambah indahnya pemandangan. Di bagian sungai yang membelah jalan ini biasanya anak-anak kecil bermain bersama orang tuanya. Ketika ada mobil hendak lewat, mereka terpaksa minggir terlebih dahulu.
Karena lapar dan belum makan siang kami memutuskan menikmati santap siang di sebuah pondok makan di pojok taman. Di sini hanya ada menu mie ayam, mie rebus/goreng dan beberapa kue ringan. Tidak ada nasi dan tidak juga telur. Kata si penjual ayamnya sudah mati dimasak buat mie ayam jadinya nggak bertelur. Hehe..
Setelah menikmati santap siang kami meneruskan perjalanan dengan tujuan Air Terjun Ciismun. Informasi jalan saya dapatkan dari penjual di pondok makan tadi, yaitu ikuti jalan raya blablabla dan seterusnya. Saat diberikan petunjuk sebenarnya saya tidak paham tetapi ya jalan saja. Nekat.
Jalanan ternyata tidak cukup bersahabat dengan tanjakan dan turunan yang luar biasa melelahkan. Kami terengah-engah dan membungkuk serendah mungkin karena tanjakan yang sungguh berat. Jarak yang kami tempuh juga tidak dekat. Suasana begitu sepi hingga suara angin dan napas kami dapat kami dengar sendiri. Di sisi kanan dan kiri hanya ada pepohonan tinggi dan besar serta rumput-rumput liar. Ketika tiba di persimpangan kami akan melihat papan petunjuk yang terpasang dan memilih salah satu arah dengan harapan tidak tersesat.
Setelah berjalan lebih dari 30 menit kami tiba di persimpangan jalan yang ditutup portal. Kebetulan di pojok ini ada beberapa orang termasuk anak-anak kampung dan kami pun bertanya bagaimana cara mencapai Ciismun. Menurut mereka, kami bisa lurus ke bawah kemudian ke kanan melewati hutan di depan kami. Jika sebelumnya adalah hutan dengan jalan beraspal, kali ini adalah hutan dengan jalan setapak. Mereka sebenarnya mencoba menawarkan jasa untuk mengantar namun kami menolak.
Lagi, dengan modal nekat dan informasi dari anak-anak tadi kami melanjutkan melewati pohon-pohon besar dan jalan setapak yang nampaknya biasa dilewati oleh penduduk untuk mencari kayu bakar. Setelah beberapa menit akhirnya kami tiba di jalanan setapak dengan susunan batu yang rapi seperti jalanan di kampung jaman dulu. Dari strukturnya yang rapi, ini terlihat seperti jalan resmi menuju ke air terjun.
Jalanan berbatu ini diapit oleh dinding tebing yang rimbun dengan pepohonan dan semak belukar. Di samping kiri terdapat sungai kecil yang mengalir bersumber dari air terjun. Suasana yang sangat sepi membuat gemericik air yang mengalir dan menyentuh bebatuan serta kerik jangkrik menjadi pengiring perjalanan. Romantis sekali. LOL
Di dua titik dalam perjalanan ini kami bertemu dengan anak-anak berseragam sekolah, berjumlah 5-6, yang mengikuti kami dan terus menawarkan jasa mengantar hingga Ciismun. Ketika tawaran mengantar tidak kami gubris mereka melanjutkan dengan meminta dikasihani (uang). Mereka terus mengikuti dan berbicara hingga puluhan meter hingga akhirnya kami menyerah. Saya katakan dua kali karena setelah yang ‘tim’ pertama dating lagi ‘tim’ berbeda dengan tujuan sama.
Selain dua ‘tim’ tadi, di sepanjang jalan ini juga dapat kita temui ibu-ibu yang menggendong kayu bakar sepulang dari hutan. Saya tidak memotret karena merasa tidak enak hati. Selain itu saya juga bertemu beberapa orang yang kembali dari air terjun.
Pukul 15.40 akhirnya kami tiba di Air Terjun Ciismun ini. Adalah kebahagiaan yang saya rasakan karena berhasil ke sini. Menikmati indah jatuhnya air Ciismun. Suasana sore itu cukup ramai pengunjung mulai dari yang sekeluarga, se-geng, ataupun hanya berdua. Alhamdulillahnya, di sini terdapat musholla sehingga kami bisa menunaikan sembahyang.
Memasukkan kaki untuk berwudlu di sungai ini membawa sensasi tersendiri. Selain segar, kaki saya yang direndam selama beberapa menit ini terasa ditusuk oleh dinginnya air. Literally. Di sini saya hanya mengambil gambar dari satu sisi ke sisi lain. Pengunjung lain ada yang berfoto layaknya pre-wedding, saling memotret, foto beramai-ramai dan ada satu orang yang mandi di bawah air terjun.
Puas menikmati air terjun dan mengabadikan dengan kamera si Eva, pukul 16.30 kami memutuskan kembali karena tidak mau mendapati gelap di tengah hutan. Terlebih kami berjalan kaki. Di perjalanan pulang, karena ada banyak cabang jalan menuju pulang, kami memilih jalan setapak yang entah seperti apa di depan. Modalnya ya nekat kali. Kali ini Icit yang mempelopori. Untungnya kami berbarengan dengan dua cowok yang salah satunya membawa gitar. Belakangan kami tahu bahwa mereka berdua adalah mahasiswa semester akhir yang sedang pacaran refreshing.
Jalanan yang kami lewati ini rimbun oleh semak belukar dan menanjak sekali. Hampir sama dengan jalanan ketika kami berangkat kecuali ini lebih panjang dan curam. Setelah beberapa menit akhirnya kami tiba di jalanan normal. Sampai di jalanan normal ini kami merasa bangga karena masih kuat untuk terus berjalan sementara beberapa orang yang sampai terlebih dulu berhenti, duduk dan minum karena terengah-engah. :D
Tapi? Di mana kita? Pertanyaan bagus. Jawaban yang muncul di otak saya hanya, hutan yang manusiawi. Setelah berjalan beberapa puluh meter, kami menemukan beberapa petunjuk jalan. Ke Rumah Kaca. Kolam Besar. Lalu di mana jalan keluar? Tidak ada petunjuk. Tapi kami nekat menyusuri jalanan dan berdoa.
Ratusan meter menembus tanah luas dan menyusuri jalanan akhirnya kami menemukan petunjuk keluar. Alhamdulillah. Saat itu matahari tidak lagi terlihat dengan jelas. Suasana cukup gelap dengan sekeliling yang masih dipenuhi pepohonan menjulang. Ketika berjalan mengikuti petunjuk keluar tiba-tiba kami mendengar suara-suara dari atas pohon. Karena penasaran saya berlari dan mencoba mendekat. Suara semakin ramai dan saya mendongak. Monyet. Satu. Dua. Empat.
Ada 4-5 monyet yang terlihat namun tidak begitu jelas karena gelapnya hutan. Saya juga tidak memotret karena yakin tidak akan mendapatkan hasil mengingat posisi monyet yang sangat tinggi. Di sisi lain saya juga mulai takut dengan gelapnya hutan ditambah hadirnya monyet-monyet tersebut. Mari melanjutkan pulang saja. Setelah berjalan terus menyusuri jalan raya akhirnya kami menemukan tanda ini.
Di sisi kanan jalan keluar ini terdapat kolam-kolam dan rumah yang entah berfungsi untuk apa. Sementara itu di sisi kiri terdapat kolam kecil dengan air mancur dan taman bunga yang juga kecil tempat kami beristirahat sesaat. Sebelum akhirnya keluar kami menemukan sebuah peta Kebun Raya Cibodas yang terpampang. Dari peta ini kami menyadari bahwa kami telah ‘mengelilingi’ separuh dari kebun dengan luas 84,99 hektar ini.
Hari sudah gelap. Udara dingin juga mulai dating bersama kabut. Yuk, pulang.
How to get there: Kebun Raya Cibodas