Ambtelijk en Duiten Hierarchie: Indonesia Yang Gini-gini Aja
Tak perlu tercengang dengan judul post yang menggunakan bahasa Belanda. Sesungguhnya saya tak bisa berbahasa Belanda. Tapi, sesungguhnya saya ingin bisa karena sejarah tentang negeri ini banyak, jika tidak boleh dikata semua, yang dituliskan dalam bahasa penjajah, Belanda.
Ambtelijk en duiten hierarchie di atas adalah ungkapan yang melukiskan kondisi masyarakat Indonesia, atau jaman itu Hindia-Belanda, pada abad ke-19. Ambtelijk berarti kepegawaian negeri, duiten bermakna duit, dan hierarchi berarti urutan tingkat atau jenjang jabatan. Iya, jaman tahun itu di negeri ini hal yang paling menonjol adalah hirarki kepegawaian dalam pemerintah dan uang.
Ternyata “budaya” yang ada di negeri saat ini adalah budaya dari jaman 130+ tahun lalu yang entah bagaimana masih terpelihara dengan baik. Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah wujud nyata dari sisa kebudayaan abad ke-19 itu. Nampaknya memang tak ada yang berubah di bawah kolong langit sini.
Penulis Belanda terkenal si Rob Nieuwenhuys dalam bukunya yang berjudul Tussen twee Vaderlanden menceritakan bahwa masyarakat Hindia-Belanda abad ke-19 adalah kaum parvenu. Kaum yang cepat mendapatkan kedudukan sosial penting tanpa usaha. Uang dan gengsi kedudukan adalah semangat yang berlaku di kalangan pejabat pemerintahan.
Atomistik atau mencari untung untuk dirinya sendiri menjadi sifat yang mengakar. Masing-masing berlomba untuk lebih kaya dan tinggi jabatan dari orang lain. Dan jika sudah demikian kebiasaan mereka-mereka ini ialah bergosip tentang orang lain sambil minum bir atau ngopi dengan yang sederajat. Bagi yang lebih rendah jabatan atau keuangannya tentu saja akan dikucilkan dari pergaulan.
Pengarang Rouffer yang melakukan perjalanan ke tanah Jawa pada abad ke-19 mencatat bahwa Hindia-Belanda memiliki sistem pungutan yang menguntungkan bagi para pejabat seperti bupati. Pungutan ini bersifat wajib bagi setiap penduduk dan berupa bahan pangan baik hasil panen, ayam maupun kerbau. Selain itu juga terdapat budaya pesta yang konon bersifat sakral dan sebagai bentuk hormat kepada pejabat dan raja. Anehnya, pemerintah memandang ini bukan suatu penjarahan walaupun kondisi wong cilik tidaklah baik.
Sebagian besar pejabat memang orang Belanda yang kelakuan mereka nampak masuk akal karena berposisi menjajah. Namun, perlu diingat bahwa pejabat saat itu bukan hanya terdiri dari orang Belanda saja namun juga kaum pribumi. Lagipula jika memang itu budaya penjajah yang sudah angkat kaki, mengapa budayanya masih ada dan terpelihara?
Kemerdekaan yang berpuluh tahun tak mampu menanggalkan budaya yang demikian usang dan kita masih gini-gini aja. Jabatan atau kedudukan masih menjadi cara favorit untuk mengejar kehormatan serta cara gampang untuk mengeruk kekayaan. Tak ada yang benar-benar berubah. Sampai kapan? :|
Disadur dari Sejarah Kecil tulisan Rosihan Anwar dalam bab 11: Jawa Tengah, Perwira Jerman di Pulau Karimun.
PS: Mohon koreksi bila ada salah penulisan bahasa asing. :D