Masih ingat kapan terakhir naik gunung? Saya tidak. Kalau tidak salah, kemungkinan besar perjalanan ke gunung terakhir saya adalah sewaktu duduk di bangku sekolah menengah. Semasa kuliah saya tidak lagi aktif di kegiatan pencinta alam walau setidaknya dua kali dalam setahun masih aktif menyusuri bukit, lembah, sungai serta berkegiatan outdoor lainnya. Itu pun terjadi antara tahun 2005-2008, karena tahun 2009 saya sibuk berkutat dengan skripsi. Dan kali ini, saya akan mendaki Gunung Papandayan yang katanya mudah bersama 23 teman lain satu kantor. Rame, kan?

Untuk memudahkan kami sebagai “wisatawan”, perjalanan ke Garut dilakukan dengan bus sewa yang mulai berangkat pada pukul 20:00. Kami sengaja berangkat sedini mungkin dengan maksud bisa tiba di Garut pagi-pagi dan bisa istirahat sejenek sebelum mulai mendaki.

Dengan perjalanan yang tidak terlalu buruk, kami pun tiba di Cisurupan, sebuah kampung di bawah Gunung Papandayan, kira-kira pukul 2:30. Tepatnya di Pasar Cisurupan, kami disambut dengan “ramah” oleh warga setempat yang menjelaskan bahwa bus kami tidak diperbolehkan naik ke Camp David. Dengan demikian, bus pun diarahkan ke sebuah rumah makan dengan tempat parkir lumayan luas untuk kemudian dapat melanjutkan ke Camp David menggunakan jasa sewa mobil warga setempat.

Perjalanan dari tempat parkir bus ke Camp David yang berjarak 8.5 km dikenakan biaya Rp. 20.000 per kepala. Kami pun terpaksa mengiyakan “saran” warga Cisurupan mengingat membantah pun tiada guna apalagi dinginnya pagi sudah mulai menusuk.

Esok paginya, selepas minum kopi dan sarapan nasi dengan lauk yang sebagian besar telah dingin, kami pun berangkat menuju Camp David. Sesampainya di sana, setelah berdoa dan stretching, kami pun mulai mendaki dengan beban di punggung masing-masing.

Sepanjang perjalanan terdapat pos-pos yang sepertinya digunakan untuk titik kontrol serta toilet untuk pendaki. Rupanya, upaya saya menghabiskan air kemih di Camp David adalah sesuatu yang tidak perlu dilakukan.

Trek perjalanan dari basecamp hingga Pos 7 terdiri atas bebatuan yang di beberapa tempat telah terdapat anak tangga sehingga pendakian memang tidak sulit. Pos 4 hingga 7 adalah lokasi di mana di sebelah kiri dapat dilihat sumber belerang yang jika dibandingkan dengan Gunung Ijen tentu saja jauh lebih kecil. Buat pendaki yang tidak mau repot membawa air minum atau makanan dari bawah, jangan kuatir. Di Pos 7 terdapat 3-5 kedai kecil yang menyediakan makanan dan minuman yang bisa dinikmati sembari beristirahat. Enak, kan?

Pendakian menjadi sedikit lebih berat setelah melewati Pos 7 hingga sampai di Pos 9 alias Ghobber Hut. Hal ini karena trek pendakian terdiri dari tebing dan tanjakan tajam meski jaraknya tidak terlalu jauh. Tantangan yang lebih menarik sebenarnya adalah ketika pendaki harus mengalah pada motor yang lewat. Saya sendiri cukup takjub karena lalu lintas motor di gunung ini cukup ramai. Motor-motor yang lalu lalang ini biasanya milik petugas atau jasa angkut carrier bagi wisatawan yang nggak mau repot.

Lelah dari Pos 7 ke Pos 9? Jangan kuatir, di Ghobber Hut ini terdapat 3 kedai kecil yang menyediakan pisang, cilok atau makanan ringan lainnya. Life is good in Papandayan, really.

Lepas dari Ghobber Hut, tujuan selanjutnya adalah Pondok Saladah dimana pendaki biasanya membuat tenda. Jaraknya cukup pendek dari Pos 9 dengan jalur pendakian melewati hutan yang mudah dan basah. Ketika menuliskan ini, saya baru sadar kalau saya tidak tahu kayu jenis apa yang ada di hutan tersebut.

Pendakian dari Camp David hingga tiba di Pondok Saladah memakan waktu kurang lebih tiga jam karena kami sibuk berfoto ria sepanjang perjalanan dan juga menikmati cilok serta makanan ringan. Jika Anda adalah pendaki ulung, saya yakin catatan waktu akan jauh lebih baik.

Pondok Saladah adalah sebuah tanah lapang dikelilingi hutan dengan pepohonan kecil. Luasnya kurang lebih 2-3 hektar dan memiliki fasilitas seperti toilet sewa, pos keamanan, warung makan, musholla, serta yang tak kalah seru adalah babi hutan. Tenang, babi hutan hanya keluar saat malam hari. Kami tiba di lokasi sekitar pukul 11.00 dengan cuaca cerah dan langsung memasang tenda di tengah barat laut Pondok Saladah. Berpacu dengan waktu kami berencana untuk ke Hutan Mati atau Tegal Alun selepas jam makan siang.

Setelah santap siang dengan menu nasi goreng atau mi instan rebus/goreng, kami langsung angkat kaki dengan tujuan Hutan Mati/Puncak/Tegal Alun, mana saja yang mungkin kami capai selama waktunya cukup.

Berita bagusnya, tidak ada satupun dari kami yang tahu rute ke tujuan tersebut. Yang kami miliki hanya sedikit petunjuk dan banyak tekad, alias nekat. Beruntung, kami bertemu dengan kelompok dari sebuah sekolah di Jakarta yang juga memiliki tujuan yang sama sehingga kami memutuskan untuk ikut serta. Dan Tegal Alun akan kami tuju melalui Tanjakan Mamang.

Dari Pondok Saladah, kami berjalan melewati semak belukar menuju titik pertama Hutan Mati. Di papan informasi Hutan Mati kami berbelok ke kanan (ke arah Selatan) untuk mencapai Tanjakan Mamang. Dan di sinilah cerita serunya dimulai.

Tanjakan Mamang bukan sembarang tanjakan. Ini adalah sebuah tanjakan tajam dan tidak memiliki jalur pendakian yang jelas karena terdiri dari tebing dengan bebatuan lempeng, tanah liat dan pepohonan kecil. Jika diperhatikan, tidak ada bekas jalur pendaki yang pernah melewatinya. Atau mungkin sudah hilang disapu hujan. Untuk bisa menapakkan kaki, pendaki harus ekstra hati-hati mencari pijakan dan pegangan agar tidak jatuh. Dengan jumlah pendaki kami 24 orang ditambah beberapa orang dari sekolah tadi, maka jumlah kami menjadi sangat ramai. Keramaian dan pendakian tebing bukanlah sebuah kombinasi yang baik karena kelompok depan bisa saja menjatuhkan bebatuan. Atau persoalan macetnya perjalanan karena sulitnya mencari jalur yang bisa dilewati dengan baik dan aman.

Pendakian melewati tanjakan ini sebagian besar kami lalui dengan merangkak dan saya sendiri sempat kehilangan pegangan dan oleng. Kondisi saya yang menggunakan sandal juga menjadi menyulitkan mengingat pijakan dengan sandal sebenarnya lebih lemah dibanding menggunakan sepatu. Bagi mereka yang takut akan ketinggian, tanjakan ini adalah masalah besar mengingat pemandangan ke bawah bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Ketika melewati tanjakan ini kami menyadari bahwa tali adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk melewati rute ini. Beruntung, seorang dari kami membawa tali walau dengan panjang hanya 4 meter saja. Harus saya akui bahwa tali itu telah menyelamatkan banyak orang di sore itu. Dengan bantuan tali kami saling membantu untuk dapat sampai di titik akhir jalur ini.

Lepas dari Tanjakan Mamang kami pun melewati hutan dengan cahaya yang minim ditemani kabut dingin hingga tiba di Tegal Alun. Karena saya termasuk di kelompok belakang yang saya dapati di Tegal Alun adalah kabut dingin dan gerimis sehingga kami harus lekas turun kembali karena saat itu waktu menunjukkan pukul 16:00. Rupanya, ada rute yang jauh lebih mudah untuk mencapai Tegal Alun. Hal ini kami ketahui setelah bertemu dengan kelompok kecil pendaki yang akhirnya membantu untuk turun dan kembali ke Pondok Saladah.

Karena amat singkatnya kami di Tegal Alun, yang saya tahu ini adalah padang bunga Edelweiss yang memiliki sebuah danau kecil. Jika kami tiba lebih cepat, mungkin pemandangan yang didapat akan jauh lebih baik dan saya bisa berkeliling atau berguling-guling.

Dengan rute kembali yang jauh lebih mudah dari Tanjakan Mamang, kami bisa sampai di tenda setelah perjalanan lebih kurang satu jam saja. Itu pun setelah kami berfoto ria di beberapa titik di perjalanan, seperti biasa.

Seperti di gunung lain, kabut mulai datang setelah pukul 17:00. Kabut tebal yang membawa butiran air ini menghadirkan sensasi dingin yang luar biasa sehingga membasahi tangan saja membuat saya merasa beku. Jika kabut telah lewat, sebenarnya cuaca di Gunung Papandayan ini tidak terlalu dingin.

Ketika malam datang, gerimis pun ikut serta mulai membasahi tenda-tenda pendaki. Di saat yang sama, pendaki yang tidak membawa peralatan memasak sendiri mulai memadati warung-warung untuk menikmati mi instan atau nasi goreng atau apa saja yang ada. Dari saat ianya berukuran cukup besar, terbiasa mengambil sisa makanan dari sampah pendaki.

Rencana kami untuk melihat matahari terbit dari Hutan Mati di minggu pagi terpaksa gagal karena hujan turun sejak subuh dan tak kunjung berhenti. Beberapa tenda pun mulai tergenang air karena posisi tanah yang landai.

Hujan mulai berhenti sekitar pukul 10:00 dan kami pun mulai turun dari gunung yang menurut warga sekitar ada rute lain yang jauh lebih cepat untuk turun. Namun, ketidaktahuan dan trauma perjalanan kemarin membuat kami memutuskan kembali dengan rute yang sama seperti saat mendaki.

Singkat cerita, kami mulai meninggalkan Cisurupan dengan bus pukul 13:30 setelah makan siang seadanya. Perjalanan minggu siang menuju Jakarta melewati rute macet sehingga kami baru tiba di Slipi setelah menempuh perjalanan 8 jam, minus 1 jam di rest area.

Overall, it was a fun trip. Sebagai seorang yang paling tua di rombongan, ternyata saya masih bisa dan kuat untuk melakukan trip level ekstrem sekalipun. Not too bad.

Bagaimana? Mau ngajakin saya naik gunung?

Takeaway: