Pernahkah suatu kali Anda merasa stres dan sangat suntuk sekali sehingga bingung hendak melakukan apa. Kemudian, Anda pergi ke stasiun dan naik kereta tanpa tujuan? Atau pergi ke halte bus dan naik bus, lalu duduk dan diam di bus menyerahkan seluruh jiwa dan raga?

Apa yang kemudian Anda rasakan setelah turun dari kereta atau bus tadi? Lebih enjoy. I bet you are (were).

[caption id=“attachment_1533” align=“aligncenter” width=“625”] Subway by Lily Furedi (1934)[/caption]

Angkutan umum adalah tempat di mana ada banyak orang yang secara random berkumpul menjadi satu kesatuan. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang pejabat, ada pula tukang sapu. Dan berbagai macam jenis profesi maupun kedudukan lainnya. Semuanya berbagi perasaan yang sama; takut terlambat, bagaimana jika ada masalah, dan seterusnya, hingga kemudian perasaan ini menguap dan menyisakan kesendirian dan kesunyian.

Pada dasarnya kendaraan umum memang seperti itu, kontradiktif. Ada momen dimana kita berada di lingkungan yang sangat ramai dan random serta sibuk. Beberapa lama kemudian kita ditarik ke dalam kesendirian. Sebuah dunia milik sendiri dimana kita bisa sibuk dengan apapun itu. Momen untuk menikmati kesendirian dan kesunyian tanpa harus literally sendiri.

Paradoks dalam kendaraan umum ini membuat kita mampu berada dalam sunyi dan fokus sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah dengan tetap berbagi dengan orang lain. Berbagi ruang dan solidaritas pengguna kendaraan umum.

Selain itu, menikmati angkutan umum (dalam kota) juga merupakan sebuah langkah kecil dari menikmati pengalaman travelling. Bukankah tujuan travelling salah satunya adalah mencari kesunyian?