Kata kebebasan memiliki makna yang berbeda bagi setiap orang. Bagi negara terjajah kebebasan adalah status merdeka dari penjajahan. Mereka yang terbaring sakit memaknai kebebasan dengan keluar dari rumah sakit. Sementara itu pengguna software menganggap kebebasan sebagai kebebasan untuk menggunakan dengan bebas apa yang dibelinya. Masing-masing punya perspektif mandiri dalam melihat kebebasan.

Jika saya harus membuat ringkasan mengenai hubungan kebebasan dan Jakarta, maka sepertinya tak banyak makna kebebasan yang bisa dinikmati di kota ini. Ada pekerjaan yang bagi sebagian besar orang, saya yakin, bukan kebebasan. Suasana lalu lintas yang setiap detik mengancam siapapun dengan wujud kemacetan. Atau banjir yang mengintai di setiap sudut awan yang menggelantung. Dan tak lupa polusi dan kotornya air yang kabarnya sudah tak layak minum.

Dengan semuanya yang ada tadi kebebasan bagi warga Jakarta seolah cuma satu, yaitu keluar dari kota ini. Tapi, benarkah seperti itu? Tak adakah wujud kebebasan di kota sebesar Jakarta ini?

Well, saya menemukan makna kebebasan di kota Jakarta ini. Disadari atau tidak, di tengah (kata orang) kejamnya Jakarta ini kebebasan atau freedom itu ada. Dalam wujud apa? Seperti bagian kata yang ada di dalamnya, car-free day.

Di hari biasa jalanan adalah medan perang untuk sampai ke tujuan. Motor berperang dengan sesama motor dan juga mobil. Mobil berperang melawan lampu lalu lintas dan motor. Dan pejalan kaki menjadi korban dari kegarangan pengendara motor yang ngawur dengan memanfaatkan trotoar sebagai jalan. Hari biasa adalah penjajahan dan pengambilan kekuasaan.

CFD adalah kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan apa saja di luasnya jalanan Thamrin hingga Sudirman. Juga di jalanan HR Rasuna Said dan beberapa ruas jalan lain. Setiap hari Minggu ganjil (CMIIW) ratusan atau bahkan ribuan warga Jakarta tumpah ke jalan-jalan tadi dan membebaskan dirinya untuk melakukan banyak hal. Bersepeda seenak udelnya. Skateboarding sepuasnya. Lari-lari. Guling-guling. Koprol. Tiduran. Jalan bergandengan dengan kekasih. Atau juga joget-joget sepanjang jalan.

Apakah memang orang-orang yang menjalani rutinitas ini memang menganggap CFD sebagai kebebasan? Entah. Saya tidak tahu pasti. Wong, saya tidak bisa membaca perasaan orang lain. Tapi, bukankah melakukan apapun sesukanya adalah simbol kebebasan?

Bisa jadi ini hanyalah kebebasan kecil. Daripada tidak ada sama sekali, kan? Tentu ada juga kebebasan lain yang dirasakan masing-masing orang. Mungkin berbelanja di mal-mal mewah. Mungkin tiduran di taman, seperti saya. Mungkin juga nongkrong bersama hingga dini hari saat akhir pekan bersama dengan geng.

Kebebasan apa yang kamu rasakan di tempatmu?