Frekuensi mendapatkan pertanyaan kamu orang mana memang tak sebanyak kapan kamu nyusul. Duh. Tapi, pertanyaan itu juga tak jarang kita dapatkan ketika berkenalan (atau ulang-kenalan). Betul?

Di dunia yang semuanya serba campur ini, jawaban dari pertanyaan itu menjadi susah diberikan. Misalnya, teman saya yang mengaku orang Padang lantaran bapak dan ibunya asli dari Padang –yang merasa silakan ngacung. Tapi nyatanya, dia bahkan lahir di Jakarta, tumbuh dan belajar hingga kemudian bekerja dan ke Padang mungkin hanya sekali atau dua untuk wisata. Ini sih Padang murtad, istilahnya ya?

Atau misalnya yang bapaknya asli Jawa dan ibunya asli Lampung. Lalu dia lahir di Singapura tapi sekolah serta tumbuh di Surabaya. Ini sepertinya lebih susah lagi menjelaskan dia orang mana. Campur aduk. Belum lagi ternyata kakek dan neneknya yang juga campur aduk sumbernya.

Atau misalnya saya yang bapak dan ibu asli Jawa tulen ini, tumbuh dan sekolah di Tuban, lalu Bondowoso, lalu Semarang dan menjadi perantauan di Jakarta ini dan kemudian berpikir untuk berumah tangga di sini juga. Ketika nanti sudah punya rumah di sini, amin, sudah nggak bisa jawab juga. Dibilang orang Tuban, tinggalnya di Jakarta. Dibilang orang Jakarta, aslinya dari Tuban. Itu pun hampir separuh umur sekolah di luar Tuban. Rumit.

Percayalah, kalau kamu merasa demikian, temanmu banyak. Dari ujung Samoa hingga ujung Kutub Utara sana.

Terus bagaimana cara mendefinisikan kita ini orang mana? Bagaimana menjawab pertanyaan itu, kalau begitu? Apa nggak usah dijawab aja?

Pico Iyer sepertinya punya jawaban yang baik untuk menjawab pertanyaan di atas. Karena dia juga senasib, yaitu campur aduk kehidupan dan asal-usulnya. Silakan disimak:

Semoga memuaskan.