Di Jakarta ini apa-apa susah. Dan di saat yang sama, apa-apa juga gampang. Dualisme yang tidak bisa dielakkan bagi setiap orang yang menjalani hidup di ibukota ini. Dan contoh paling gampang yang dapat ditemui dalam seharian adalah urusan angkutan.

Susah karena jalanan macetnya tak karuan. Dan gampang karena banyak pilihan yang dapat diambil. Mau kemana saja ada pilihannya. Dari bus kota, angkot (angkutan kota), bajaj, ojek, kereta rel listrik alias KRL, bus antar kota sejenis Mayasari, taksi atau pun kendaraan pribadi yang setiap harinya bertambah jumlahnya. Tapi ya kembali lagi, susah karena jalanan hampir selalu macet.

Kesusahan dalam macet akan bertambah bagi mereka yang memanfaatkan angkutan umum seperti bus, angkot atau KRL. Jam-jam pergi maupun pulang kantor merupakan tantangan bagi setiap individu, baik perempuan maupun laki-laki. Selain kemacetan, angkutan umum ini pasti penuh sesak. Terlebih KRL yang menyebabkan tak jarang banyak orang mengorbankan faktor keselamatan dengan cara bergelantungan di pintu atau naik di atap kereta demi pulang/pergi.

Bagi laki-laki, tantangan mungkin menarik. Biar bisa dibilang macho, lah. Biar nampak keren, lah. Atau supaya bisa dibilang perkasa. Dan sebagainya. Entah bagian mananya yang macho, keren, atau perkasa itu. Karena sesungguhnya bagi saya tak ada yang keren dari bergelantungan di pintu KRL dengan laju 70-80km per jam. Kalau bergelantungan di pintu metromini sih, saya juga sering. :D

Jika bagi kaum laki-laki adalah tantangan, tidak selalu demikian bagi kaum perempuan. Susahnya mendapatkan alat transportasi baik pergi maupun pulang kantor ini malah kadang berujung petaka. Seperti yang terjadi beberapa hari lalu pada seorang teman saya. Akibat dari penuh sesaknya bus yang digunakan, ia menjadi korban pelecehan seksual. :(

Menjadi korban pelecehan seksual sungguhlah menyesakkan. Namun, akan lebih membuat sedih jika tidak ada banyak hal yang dapat dilakukan ketika hal itu terjadi. Dan itulah yang terjadi karena kondisi penuhnya bus yang ditumpanginya. Dari kejadian yang dialaminya tadi, satu hal yang dia sarankan kemudian adalah bagi kaum perempuan, jangan naik angkutan umum jika kondisi terlalu penuh, dalam kondisi tergesa-gesa sekalipun. It’s not safe!

Kondisi, saya ambil contoh bus, yang penuh akan menyebabkan kita tidak leluasa bergerak. Hal ini menyebabkan kemampuan menjadi terbatas dan tidak bebas seperti jika bus dalam kondisi cukup longgar. Anda tidak akan mampu menempeleng, menendang atau meninju pelaku dengan kuat dalam kondisi bus penuh dibanding kondisi longgar. Anda juga tidak dapat menghindar jika terjadi hal lain yang tidak diinginkan.

Longgar lebih baik

Selain ancaman pelecehan seksual, resiko lainnya adalah sulitnya mengawasi barang-barang bawaan. Hal ini menjadikan resiko semakin besar dan kesempatan menjadi korban semakin lebar. Contoh resiko paling sering terjadi adalah pencopetan.

Apollo Robbins, si ahli nyopet, menjelaskan (video di atas) bahwa cara mencopet handphone dari kantong depan adalah dengan menambahkan gesekan pencopet dengan korban sehingga gesekan diambilnya barang terasa seperti gesekan antara anggota badan satu dengan anggota yang lain.

Kondisi kendaraan yang penuh sesak tentu saja juga penuh gesekan seperti keluar-masuknya penumpang lain atau mondar-mandirnya kenek bus. Dan dengan intensitas banyaknya gerakan dan gesekan, pencopetan dapat terjadi dengan sangat mudah tak peduli di mana Anda menyimpan barang tersebut.

Dua faktor di atas saja rasanya cukup untuk menjadi pengingat, jangan naik metromini/kopaja/bus Transjakarta atau angkutan umum lain jika kondisi penuh sesak! Bersabarlah sejenak dan tunggu bus berikutnya yang lebih longgar.

Jika saya tak salah ingat, salah satu pepatah yang saya dapat ketika jaman sekolah adalah lebih baik mencegah daripada mengobati. Dan pepatah ini juga berlaku untuk hal yang ada urusannya sama jalanan ini.

Stay safe.