Semasa di Semarang, bayangan saya tentang Jakarta adalah biaya hidup yang mahal, selain macet dan dangerous. Rasanya hal ini dipengaruhi beberapa hal dan yang paling besar tentu saja adalah pengaruh media.

http://500px.com/photo/28668407

Perlu diketahui bahwa saya ini tipikal wong ndeso. Dan sebagai wong ndeso saya bisa makan apa saja dan di mana saja, termasuk warung atau soto ayam Surabaya dadakan di pinggir-pinggir jalan itu. Kenapa saya harus sebut soto Surabaya? Karena kalau soto yang lain saya mikirnya tiga ribu kali. Gak sreg. :P

Nah, sebagaimana layaknya harga makanan pinggiran, tentu saja harganya tak terlalu mahal. Sebenarnya, bisa dibilang murah. Karena jika saya bandingkan dengan harga makanan di warteg semasa kuliah, di Semarang, hanya terpaut seribu atau 2000 rupiah. Tak terlalu banyak.

Dengan kebiasaan makan di warteg baik saat di kantor maupun di kos, selama satu tahun pertama biaya yang saya keluarkan untuk biaya hidup tak seberapa jauh berbeda dengan semasa di Semarang. Untuk kategori makanan dan ongkos transportasi. Jika ada satu kategori pengeluaran yang berkali lipat adalah biaya sewa kamar kos. :(

Karena ini Jakarta, rasanya saya mafhum dengan hal ini. Biaya kos mahal karena entah apa itu. Oke, bisa saya terima. Something out of my control.

Setelah setahun pertama, kebiasaan saya yang nyaris tak pernah ngemol atau ke kafe-kafe tadi berubah. Saya jadi agak rajin ke kafe. Saya juga mulai agak rajin ngemol dan makan di sana. Dan lain-lain. Setelah beberapa lama saya menyadari bahwa hal inilah yang menggerogoti kantong dan dompet yang tak seberapa berisi ini.

Seperti saya dahulu, orang yang belum pernah tinggal di Jakarta akan menanyakan hal yang sama: apakah biaya hidup di Jakarta mahal?

Dan dari pengalaman saya, jawabannya adalah tergantung. Tergantung apa? Gaya hidupmu.

Punya pandangan lain soal biaya dan hidup di Jakarta?