Mengingat kata INFORMATIKA dan definisi serta anggapan umum tentangnya membuat saya teringat akan kejadian di tahun 2004. Begini ceritanya..

Lepas dari MA (Madrasah Aliyah) tak terkenal di daerah Tuban, Jawa Timur, saya tak langsung kuliah. (1) Kedua orang tua saya tak mampu membayar uang pendaftaran apalagi harus membayangkan membayar uang kuliah dan ini-itu. (2) Di antara hasil ujian akhir hanya ada satu nilai saya yang bagus, Bahasa Arab. (I know, right? I really should apply somewhere in Lebanon or Qatar.)

Karena nasib itu tadi, saya akhirnya ditawari bekerja di Surabaya untuk jadi karyawan di sebuah rental komputer. Karena memang tak ada pilihan yang lebih baik saat itu, saya menerimanya.

Rental komputer ini terletak di kawasan Ketintang, sekitar 500m dari Universitas Negeri Surabaya, sehingga cukup ramai dengan pengguna jasa baik dari kalangan mahasiswa, dosen maupun umum. Tak jarang, yang saya ketik adalah skripsi atau thesis yang jumlahnya berlembar-lembar itu sehingga harus dikerjakan hingga malam hari.

Kebetulan, adik (kembar identik) dari pemilik rental komputer ini sedang kuliah di ITS Surabaya dengan jurusan Teknik Informatika. Dari mereka saya belajar banyak hal urusan komputer termasuk salah satunya reparasi. Meski begitu, rental komputer ini sebenarnya tak menerima reparasi.

Suatu hari ketika saya sedang menjaga warung ini sendirian (biasanya bareng dengan pemiliknya sepasang suami-istri) dan sibuk dengan konsumen, datang seorang bapak membawa desktop. Karena hanya saya yang ada di sana dan tak mau mengecewakan konsumen, saya mendengarkan dengan seksama keluhannya. Intinya, komputernya tidak mau booting.

Hal pertama yang terlintas di kepala saya adalah, ‘Duh, piye iki?' Meski saya pernah 2 malam utak-atik komputer dari reset, pasang, install, cabut-cabut kabel dan lain-lain, sebenarnya saya masih tak begitu mengerti. Apalagi bahasa Inggris saya saat itu bisa dibilang nyaris NOL, padahal bahasa utama di komputer adalah Inggris.

Dengan gemetar karena grogi, saat itu ada banyak mahasiswa cewek, CPU saya pasang ke monitor, keyboard, mouse, dan sumber daya. Tombol power pun saya tekan.

Betul kata bapak itu, komputer memang tidak menyala seperti yang diharapkan, atau seperti biasanya. Yang ada adalah sebuah command window dengan keterangan dan petunjuk. Mengikuti insting dan sok tahu, saya ikuti petunjuk yang ada termasuk mengetikkan beberapa baris perintah. Sejujurnya, saya tak tahu apa yang sedang saya lakukan. Pokoknya saya lakukan dan ketikkan saja sambil berdoa semoga tak ada bencana setelah ini usai.

Setelah semua petunjuk selesai dan baris-baris perintah habis, komputer pun saya restart. Dan… logo booting Windows 98 muncul! Komputer menyala sesuai harapan. Saat itu saya gembira sekali karena berhasil membetulkan komputer “rusak.”

Singkat cerita, komputer saya serahkan ke pemiliknya dan tibalah saatnya menentukan harga dari jasa tadi. Saya tak punya gambaran sama sekali soal harga karena kami memang tak pernah menerima jasa reparasi komputer. Saya bisa memberikan harga sewa komputer per jam, atau jasa ketik sekian halaman. Tapi soal harga jasa reparasi? Itu persoalan lain.

Tanpa petunjuk dan pengetahuan mengenai jasa ini, akhirnya saya katakan, “Terserah bapak saja.” Toh, “Saya cuma mengetikkan beberapa baris perintah sesuai petunjuk,” batin saya.

Bapak yang baik hati ini kemudian memberikan uang Rp. 5000 ke saya. Perlu diingat bahwa di tahun 2004, uang sebesar 5000 rupiah hanya bisa membeli sarapan beserta lauk-pauk dan minum di Surabaya. Tapi saya menerimanya. :D

Ketika saya menceritakan apa yang terjadi kepada pemilik rental dan kedua adiknya, ekspresi yang mereka berikan hanya tertawa terbahak-bahak. Katanya, saya seharusnya meminta Rp. 50.000 atau minimal Rp. 35.000. :(

Belakangan saya mengerti bahwa jasa tidak cukup diukur hanya dari pekerjaan fisiknya saja karena di sana ada ilmu pengetahuan. Dan ilmu pengetahuan itu mahal harganya. :)