Setiap akan bepergian, atau berwisata tepatnya, satu hal yang selalu saya permasalahkan adalah konektivitas di tempat tujuan. Apakah sinyal telepon bisa diandalkan? Apakah saya bisa menggunakan akses internet dengan baik dan lancar jika saya butuh?

Dalam dunia wisata, jika memang ada istilah itu, dua pertanyaan di atas tidak seharusnya perlu untuk ditanyakan karena tujuan wisata adalah bersenang-senang. Beberapa orang bahkan komplain, wisata kok masih mementingkan akses internet dan lain-lain. Kan seharusnya kita menikmati apa yang ada di sini, tujuan wisata ini. Dan seterusnya.

Namun, konektivitas bagi saya menjadi sesuatu yang penting karena menyangkut apa yang menjadi sumber utama kehidupan saya. Iya, pekerjaan utama saya yang disebut sebagai konsultan teknis. Pekerjaan saya mengharuskan saya bisa siap sedia dihubungi tidak peduli pukul berapa atau sedang berada di mana. Ini semua karena menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Kurang lebih. :D

Sewaktu akan berangkat ke Bali pekan lalu, bersama mas Fanabis dan Ilman Akbar, dua hal tersebut juga saya pertanyakan. Rasa was-was dan gundah juga menyelimuti perasaan sebagai pelengkap rasa sukacita karena bisa jalan-jalan sebelum libur tiba. Terlebih ini adalah kali pertama saya ke Bali. Ndeso? Iya, nggak apa. Namun, sesampainya di tujuan rasa was-was tadi terkikis seiring berjalannya waktu.

Di bandara Ngurah Rai sinyal henpon ternyata baik-baik saja. Persoalan sinyal henpon sebenarnya remeh dan saya tidak seharusnya memusingkan soal ini. Wong sudah tahun 2012 mau habis. Kecuali jika saya berada di tengah pulau Kalimantan. Namun, saya lebih bergembira lagi karena mendapati smartphone langsung terhubung dengan access point bernama @WiFi.id yang ada di bandara. Sebagai informasi saya biasa membiarkan WiFi menyala. Hehe.. Status sinyal pun excellent. Dan lebih daripada itu, ada beberapa access point lain yang memiliki sinyal sama kuatnya.

Sebuah awal yang baik, saya membatin.

Perjalanan pun berlanjut ke: mencari tempat penginapan, yang katanya tak jauh dari bandara. Tempatnya sih sudah dipesan, hanya saya posisi penginapan itu ada di mana, itu yang menjadi soal. Kami sempat salah penginapan sebelum akhirnya menemukan yang benar. Letaknya memang masuk ke dalam gang yang kecil sehingga masuk akal jika susah dicari. Tempat ini bernama Billy Pendawa, yang saya kira Billy adalah nama pemilik. Tapi saya yakin bukan Billy Koesoemadinata. :D

Di penginapan, baik yang sebenarnya maupun yang salah, saya pun bisa menikmati sinyal WiFi untuk berinternet. Sebenarnya permasalahan internet ini bukan untuk smartphone. Melainkan saya butuhkan untuk kebutuhan remote pekerjaan yang tentu saja via laptop. Dan dengan akses WiFi di penginapan, remote pekerjaan tak menjadi soal.

Selain di penginapan, saya juga bisa dengan mudah terhubung WiFi di tempat kami makan siang, Eat & Eat. Begitu juga dengan tempat acara berada malam itu, Discovery Kartika Plaza. Hal yang sama juga saya rasakan di sepanjang perjalanan dari penginapan ke tempat acara berlangsung yang ternyata hanya 500+ meter saja.

Ternyata mendapatkan akses WiFi di Kuta, Bali ini sungguh mudah. Dan belakangan, di acara yang ada di Discovery Kartika Plaza tadi, saya baru tahu bahwa membangun infrastruktur konektivitas internet melalui jaringan WiFi adalah bagian dari program untuk menjadikan Bali sebagai smart cultural island. Sebuah program yang digagas oleh Telkom dengan nama Bali Digital Society atau #BaliDiSo. Ooo..

Jika saat ini hanya ada sekitar 3,000 access point WiFi, tahun 2013 esok jumlah ini akan bertambah menjadi 30,000 di seluruh Bali dengan kecepatan hingga 100Mbps. Dan akan terus bertambah hingga 2014 dengan total 50,000 titik.

Memang asyik menjadi traveler yang bisa menikmati koneksi internet setiap saat. Wisata bagi orang-orang macam saya juga tak lagi perlu kuatir soal internet. Ah.. hidup terasa makin indah. :)