Tersebutlah seorang anak manusia bernama Petruk di sebuah kota bernama Sumber Rejo sedang kelimpungan. Lantaran KTP yang dia miliki sudah tewas sejak 6 bulan lalu dan tiba-tiba dia diminta KTP baru untuk keperluan pernikahannya yang akan berlangsung 3 hari lagi.

Dengan tergopoh-gopoh, maka pergilah Petruk ke kantor kecamatan setelah membawa surat-surat yang diperlukan dari kantor kelurahan. Waktu menunjukkan pukul 14.04. Dalam hati Petruk berpikir, apa iya bakal bisa sampai kecamatan tepat waktu? Batinnya menjawab, embuh. Pokoke mlaku.

Tak lama kemudian sampailah ia di kantor kecamatan dengan tubuh basah oleh peluh setelah mengayuh sepeda butut yang dibelikan bapaknya sebulan lalu. Waktu memberikan sepeda itu, Semar bilang buat modal kawin. Entah bisa buat bayar apa itu sepeda. Wong harga-harga melonjak tinggi begini.

Kok malah ngelantur. Sampai mana tadi? Oh, sampai kecamatan.

Setelah parkir dia melongok jam dinding di depan kantor kecamatan itu dan melihat jarum jam menunjukkan pukul 14.29. Sambil celingukan dia memperhatikan bahwa keadaan kecamatan sudah sepi. Sepertinya apes, batinnya. Tapi toh dia tak gentar. Dengan langkah mantap dia berjalan masuk.

Setelah sampai di depan loket, ternyata ada papan tulisan TUTUP. Jabang bayi! Cilaka dua puluh sembilan!

Maka Petruk pun kelimpungan persis seperti orang yang baru dirampok. Di otaknya terbayang sudah gagalnya pernikahan yang akan dia laksanakan dengan Nyi Noro Sastro. Buyar sudah gaambaran malam pertama yang sudah dirancangnya. Suram sudah masa depan rumah tangga yang diidamkannya. Mau ditaruh di mana ini muka kalau ketemu calon mertua nanti, batinnya dengan sedih.

Dengan lemas dia pun duduk di bawah pohon yang ada di depan kecamatan. Menunduk lesu dan dengan pikiran yang tak karuan. Lidah ini rasanya sudah kelu dan tak ada rasa yang bisa dia kecap lagi.

Lagi nunggu siapa, dik, terdengar suara ramah seseorang. Tanpa menghiraukannya lidahnya menjawab, gagal sudah perjuanganku hari ini. Kenapa begitu, tanya si suara lagi. Gagal ini rencana bikin KTP. Gagal, gara-gara pegawai  itu sudah pada pulang. Padahal baru jam segini. Rutuk Petruk sambil tetap menunduk.

Si pemilik suara pun duduk di samping Petruk seraya berujar, oooo.. mau urus KTP. Memang di sini kalau jam segini sudah pada pulang dik pegawainya. Sudah biasa begini. Harusnya tadi agak siangan lagi datangnya.

Tapi saya datang dari jauh pak. Sekarang saya kerja di kota Ngadipurotirto di sana meskipun saya asli warga kecamatan sini. Karena jauh lah makanya saya sampai sini sore begini. Sudah capek-capek kok ya malah ternyata tutup. Padahal saya harus terbang sore ini untuk balik ngantor besok. Gak mungkin saya tinggal malam ini dan balik ke sini besok. Curhat Petruk kepada bapak di sebalahnya yang ternyata adalah satpam kecamatan.

Setelah masing-masing terdiam beberapa lama, pak satpam pun membuka mulut.

Begini saja, adik ini sudah lengkap semua kan dokumennya? Sudah siap kan? Bagaimana kalau adik titipkan ke saya biar saya bantu ngurus besok. Gak sampai sehari jadi kok ini. Begitu jadi besok saya kirimkan ke adik ini. Pakai paket pengiriman YES bisa lah sampai di sana pas sebelum pernikahan. Bagaimana?

Ada ragu dalam batin Petruk. Tapi setelah dipikir-pikir, tawaran bapak satpam ini masuk akal. Maka tanpa panjang lebar dia pun menyerahkan semua dokumen ke satpam tadi. Dia pun tak lupa memberikan uang untuk biaya pengiriman yang dirasa cukup.

Terima kasih banyak pak, atas bantuannya. Ini uang untuk pengiriman. Kalau nanti duit untuk biaya pengiriman ini lebih, bapak ambil saja. Pungkasnya.

Petruk pun pulang dan selanjutnya terbang ke Ngadipurotirto. Dan tepat pagi hari sebelum pernikahannya, KTP yang dijanjikan oleh satpam kecamatan sampai di tangannya. Lega lah si Petruk. Akhirnya mahligai rumah tangga yang dinantikan jadi juga. Senang bukan main dia.

Sebagai warga negara yang baik, tak lupa dia nelepon ke satpam kecamatan dan mengucapkan beribu terima kasih. Satpam kecamatan hanya menjawab, sama-sama dik. Semoga pernikahannya berkah. Uangnya sisa sekian sen ini. Terima kasih banyak.

Beberapa hari kemudian, satpam kecamatan menemui kasus yang mirip dengan Petruk. Lantaran banyak warga yang merantau, semakin hari semakin banyak yang butuh bantuannya. Karena kejadian-kejadian ini, ia pun berpikir bahwa bisa saja dia membantu orang-orang itu dan dia akan meminta bayaran. Lumayan, batin pak satpam.

Maka dengan mantap, dia membuka jasa pengurusan KTP. Dengan tarif.

Pada akhirnya, sesuatu yang awalnya iklas tetapi kemudian menjadi komoditas, ya memang akan begitu. Bisa jadi urusan KTP. Bisa jadi urusan nyeberang di lampu merah. Bisa juga urusan lewat di pertigaan yang biasanya macet.